Laporan Wartawan Wartakotalive.com, Theo Yonathan Simon Laturiuw
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sutrisno (54) kesulitan berjalan. Jalannya pincang, pergelangan kaki kanannya dibebat, tapi dia tetap memaksakan diri jadi porter di Stasiun Besar Pasar Senen.
Minggu (27/1/2014), Sutrisno cepat berlari terpincang-pincang saat KA Matarmaja Malang boarding.
Sesaat kemudian ada penumpang butuh jasanya. Bawaannya banyak. Sutrisno menaruh sebuah tas di pundaknya. Tas lainnya ia tenteng di tangan kiri berikut sebuah kardus.
"Saya baru datang empat hari lalu, dan saya akan sebulan disini kalau asam urat saya tak kumat," ujar Sutrisno.
Artinya ia tak akan Lebaran di kampung halamannya di Cepu, Jawa Tengah. Padahal dua anak perempuannya merengek agar ia tak bekerja dulu.
Sutrisno sudah sejak tahun 1999 membagi kehidupannya antara Stasiun Pasarsenen dan kampungnya. Tepatnya semenjak bekerja di bengkel di Surabaya tak menguntungkan lagi.
Sejak itu ia bekerja jadi porter di Stasiun Pasar Senen. Biasanya sebulan ia habiskan mengangkat barang di Stasiun Pasar Senen. Lalu seminggu ia habiskan bersantai di kampung.
Tapi empat tahun belakangan aktifitasnya terganggu lantaran asam urat. Dia jadi tak rutin lagi bekerja sebagai porter.
Beruntung kala itu anak-anaknya beranjak dewasa. Dua anak perempuannya sudah menjadi perawat. Bebannya pun berkurang.
Tapi tak bekerja tetap tak membuatnya enak. "Orang itu tak ada harganya kalau tak bekerja atau berusaha," kata Sutrisno kepada Wartakotalive.com.
Makanya, kini, sejak empat hari lalu ia kembali ke Stasiun Pasar Senen untuk bekerja. Setelah sebulan sibuk mengobati asam uratnya.
Selama jadi porter, Sutrisno dan porter lainnya dapat tempat tinggal di bagian belakang Stasiun Pasar Senen.