TRIBUNNEWS.COM, BOGOR - Terpaksa memiliki akte lahir bukan atas nama ibu kandungnya. Itulah nasib FN, bocah laki-laki berusia 8 tahun di Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Di akte kelahiran, ia terpaksa dicatatkan sebagai anak dari kakak ibunya Yuliana (31). Sebabnya, FN lahir dari dari perkawinan siri Yuliana dengan pengungsi asal Afghanistan.
Yuliana tak mau anaknya tercatat sebagai anak yang lahir di luar nikah. Maka, FN dimasukkan sebagai anak sang kakak yang menikah resmi. "Saya ditinggal pergi suami siri saya sejak FN masih berusia dua bulan dalam kandungan," kata Yuliana kepada Warta Kota, ketika ditemui di rumahnya, Rabu (22/10/2014).
Rumah itu berada di gang sempit. Sinar matahari sulit menembus rapatnya atap di gang itu. Permohonan suaka ayah kandung FN disetujui Pemerintah Kanada pada tahun 2005. Sang ayah pun pergi meninggalkan Indonesia dan meninggal FN.
Saat pergi, ayah FN berjanji akan kembali. Tapi itu tak terjadi sampai tahun 2014 ini. Dia hanya rutin mengirim uang bulanan. Tapi amat sedikit. Bahkan kadang kirimannya terlambat. Yuliana sampai malu menyebutkan angka kiriman itu.
Di usianya yang ke-8 FN begitu tampan. Ukuran tubuhnya lebih tinggi dari sepupunya yang sudah duduk di kelas V SD. Hidungnya mancung, matanya bulat, dan alisnya tebal. Nyaris tak tersisa wajah Yuliana di situ. "Ini mukanya mirip sekali dengan muka ayahnya," kata Yuliana.
Saat ini, banyak anak seperti FN. Anak-anak berwajah campuran seperti itu mulai bertebaran di kawasan Puncak, seperti di Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Mereka berdarah Afghanistan, Kurdi, Pakistan, Sri Lanka, dan Somalia. Mereka keturunan pengungsi yang hanya mampir. Tapi di belakang mereka ada banyak masalah.
Sania (26) mengalami hal serupa dengan Yuliana. Lima tahun lalu dia menikah siri dengan pengungsi asal Pakistan. Lalu memiliki seorang anak laki-laki. Tapi begitu permohonan suakanya diterima Australia, lelaki Pakistan itu menceraikan Sania pada tahun 2012.
Dia pergi begitu saja meninggalkan Sania dan anaknya yang saat itu masih berusia dua tahun. Setelah itu Sania bingung hidup sendiri. Dia terpaksa pindah ke Jakarta dan bekerja di sebuah konter ponsel. (Warta Kota)