TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA - Kesaksian korban dugaan tindak kekerasan seksual di sekolah Jakarta International School (JIS) hari ini berakhir antiklimaks.
MAK, siswa TK JIS yang diminta keterangannya melalui teleconference dan didampingi LPSK menyampaikan keterangan yang berubah-ubah dan sulit dipahami.
Tidak ada informasi baru dan banyak dari keterangan yang disampaikan saksi korban tidak mengungkapkan siapa sebenarnya yang melakukan dugaan sodomi ini.
Demikian keterangan yang disampaikan Patra M. Zen, kuasa hukum Virgiawan Amin dan Agun Iskandar usai sidang hari ini di PN Jakarta Selatan, Rabu (5/11/2014).
Patra justru mempertanyakan urgensi dari teleconference yang dilakukan ini. Apalagi dalam sidang sebelumnya, sebagai bagian dari pembelaan, pengacara terdakwa tidak diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada MAK.
Sementara majelis hakim langsung memberikan kesempatan kepada jaksa penuntut umum (JPU).
"Teleconference ini sebenarnya tidak perlu dilakukan. Dengan dihadirkan langsung kita akan melihat ekspresi dan penjelasan lebih detil dan murni dari MAK. Melalui teleconference semuanya tidak dalam kontrol kita, karena kita tidak bisa lihat apa yang ada di sekitarnya," jelas Patra.
Patra punya alasan kuat kesaksian melalui teleconference tidak independen. Dalam sidang yang menghadirkan MAK dan Alec sebagai saksi, banyak keterangan MAK yang bertolak belakang dengan keterangan ibunya.
Melihat hal itu ibu Pipit yang duduk didekat MAK langsung memotong jawaban MAK dan melakukan intervensi.
"Sebagai contoh ketika di persidangan ditanya siapa yang memasukan burung ke dalam anusnya? MAK menjawab, Icha (Afrischa), si ibu langsung mendelik dan berbisik-bisik ke telinga anaknya", ungkap Patra.
Perlu diketahui, Afrischa adalah salah satu dari 5 terdakwa yang disidangkan.
"Mana mungkin Afrischa bisa memasukan penisnya? Karena Icha adalah satu-satunya terdakwa perempuan," lanjut Patra.
Patra menegaskan, jika dalam teleconference ini, orang tua lagi-lagi bebas mengintervensi dan mempengaruhi anaknya, maka keterangan MAK bahwa dirinya disodomi patut diragukan.
"Dalam hukum pidana kita, keterangan anak tidak bisa dijadikan dasar bagi Majelis Hakim untuk membuat putusan. Apalagi dijadikan alasan untuk menghukum seseorang. Karena anak belum cakap dalam bertindak dan berpikir. Itulah mengapa dalam persidangan, anak tidak diambil sumpah sebelum memberikan keterangan" jelas Patra.
Terkait kasus JIS ini sebelumnya Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai penanganan kasus dugaan kekerasan seksual di sekolah Jakarta International School (JIS) menjadi salah satu bukti tindakan polisi yang ceroboh, tidak independen dan memaksakan sebuah kasus dari bukti-bukti yang sangat lemah.
Koordinator KontraS Haris Ashar mengatakan, kasus JIS memperlihatkan bagaimana polisi membentuk sebuah rangkaian cerita yang tidak berdasarkan alat bukti.
Akibatnya untuk memaksakan ceritanya, polisi melakukan tindak kekerasan dan penyiksaan terhadap pekerja kebersihan JIS agar mengakui kasus kekerasan seksual itu.
"Kasus JIS kembali mempertontonkan kepada kita bagaimana sebuah rekayasa terjadi. Kematian seorang pekerja kebersihan JIS dengan muka lebam menjadi bukti bahwa tindak kekerasan oleh polisi itu nyata terjadi," ujar Haris dalam Media Briefing bertema "Tantangan Kinerja Polisi di Pemerintahan Jokowi" yang digelar KontraS di Kedai Tjikini, Selasa (4/11).
Karena polisi berada di bawah koordinasi langsung Presiden, KontraS meminta Presiden Jokowi ikut mencermati kasus ini.
Pasalnya tindak kekerasan yang dilakukan untuk memaksakan sebuah kasus sangat berbahaya bagi lembaga kepolisian sendiri.
"Dengan kondisi polisi saat ini masyarakat semakin takut berhubungan dengan polisi, karena polisinya sendiri menunjukkan ketidaktaatannya pada hukum. Kasus JIS adalah salah satu bukti tindakan polisi yang tidak profesional dan memaksakan sebuah kasus dari fakta yang lemah," tegas Haris.