TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan kepada dua guru Jakarta Intercultural School (JIS) terus menunjukkan kontroversi. Setelah mendakwa Neil Bentleman dan Ferdinant Tjong dengan tuduhan yang absurd, JPU ditengarai menyusun surat dakwaan berdasarkan Pasal Undang-Undang yang sudah tidak valid lagi.
Jaksa mendakwakan kedua guru JIS atas Pasal 80 dan 82 UU tahun 2002. Hal ini tidak tepat karena ketentuan Pasal 80 dan 82 UU tahun 2002 sudah diubah dalam UU tahun 2014. Sehingga Dakwaan Jaksa disusun berdasarkan pasal-pasal yang sudah tidak berlaku lagi, sehingga dapat disebut cacat hukum.
Patra M. Zen kuasa hukum dua guru JIS menegaskan, majelis hakim harus menyatakan bahwa surat dakwaan batal demi hukum karena dakwaan terhadap Neil dan Ferdi masih menggunakan Undang-Undang No. 23/2002. Padahal UU tersebut telah diubah oleh UU 35/2014 tentang Perubahan UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak, yang telah diundangkan pada 17 Oktober 2014.
"Dalam Surat Dakwaan terhadap Neil dan Ferdi yang telah dibacakan oleh JPU pada 2 Desember 2014 masih menggunakan UU no 23 tahun 2002. Karena itu Surat Dakwaan JPU tersebut nyata-nyata dan amat terang melanggar Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP. Surat Dakwaan terhadap Neil dan Ferdi dibuat secara tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap," tegas Patra usai sidang di PN Jakarta Selatan, Kamis (11/12).
Patra mengatakan, Majelis Hakim sudah semestinya menyatakan Surat Dakwaan JPU batal demi hukum (venrechtswege nietig) karena tidak memenuhi syarat materiil penyusunan Dakwaan. JPU juga sudah melanggar Surat Edaran Jaksa Agung RI No. SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan.
Patra menegaskan berdasarkan ketentuan Pasal 143 ayat (2) KUHAP, amat jelas Surat Dakwaan terhadap Neil dan Ferdi mesti dinyatakan batal demi hukum (Null and Void), karena dua hal utama yaitu pertama karena disusun berdasarkan pasal UU yang sudah tidak valid.
"Alasan kedua mengapa dakwaan ini harus batal demi hukum karena dakwaan tindak pidana tidak menjelaskan waktu yang jelas," tambah Patra.
Sebelumnya, dalam dakwaan yang dibacakan jaksa disebutkan, kasus yang melibatkan kedua guru tersebut "terjadi pada waktu yang tidak dapat diingat lagi dengan pasti antara bulan Januari 2013 sampai bulan Maret 2014 bertempat......(tidak jelas)".
Artinya, dakwaan pidana oleh JPU tidak menyebutkan kapan peristiwa ini terjadi, dimana dan dengan bukti-bukti apa. Dakwaan tersebut tidak memenuhi ketentuan KUHAP, khususnya Pasal 143 ayat (2) huruf B yang mengharuskan disebutkan uraian yang jelas dan cermat atas waktu terjadinya pidana.
Bersamaan dengan pelaksaan sidang hari ini, kasus yang menimpa dua guru JIS tersebut terus menuai simpati publik. Hari ini para orangtua siswa dan staf JIS kembali mendatangi PN Jakarta Selatan untuk memberikan dukungan.
Mereka membentangkan spanduk dan poster-poster berisi dukungan kepada Neil dan Ferdi. Beberapa poster berbunyi : Tolak Rekayasa JIS, JIS Tidak Akan Menyerah Pada Rekayasa Kasus, JIS Bersatu Tegakkan Kebenaran.
Selain orangtua siswa dan staf JIS, hadir juga perwakilan sejumlah yayasan lokal yang menjadi mitra binaan JIS. Mereka memberikan dukungan dan menyampaikan pendapatnya terkait kasus ini. "Setelah sekian lama berhubungan dan bekerjasama dalam berbagai proyek sosial dengan JIS, kami tidak percaya dengan kasus ini. Kasus seperti ini, menurut kami, mustahil terjadi di dalam sekolah yang memiliki sistem dan kontrol yang begitu bagus," jelas Retno Hapsari perwakilan dari yayasan XSProject, salah satu yayasan bergerak dibidang daur ulang sampah yang selama ini menjadi salah satu mitra layanan komunitas JIS.
Hadir sejumlah perwakilan dari yayasan yang menjadi mitra layanan komunitas JIS, antara lain dari Yayasan Usaha Mulia dan Yayasan Kampung Kids. Mereka banyak mendapat dukungan dan bekerjasama untuk berbagai program sosial dan komunitas dari JIS.
Neil dan Ferdy diadukan ke polisi dengan tuduhan tindak asusila setelah gugatan perdata oleh TPW, ditolak dan kemudian dinaikkan menjadi US$ 125 juta atau hampir senilai Rp 1,5 triliun. Sementara gugatan perdata sejak awal yang dilakukan TPW kepada JIS senilai US$ 12 juta hanya ditujukan bagi 6 pekerja kebersihan. TPW menggugat JIS sebesar itu lantaran anaknya diduga mengalami kekerasan asusila.
"Adanya gugatan yang begitu besar mestinya menjadi perhatian JPU dan majelis hakim. Jangan sampai orang yang tidak bersalah dan tidak punya akses ke kekuasan harus menjadi korban lagi," kata Patra.