TRIBUNNEWS.COM, DEPOK - Pengamat Transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno menilai, persaingan bisnis antar perusahaan taksi saat ini memang sudah mulai tampak mengarah ke persaingan yang tidak sehat.
Bentuk persaingan, katanya, bukan lagi dengan meningkatkan layanan kepada konsumen atau dengan menekan harga, tetapi juga menjelekkan citra pesaing di mata konsumen dengan menggunakan segala cara.
"Tujuannya agar bisa memonopoli bisnis taksi ini," kata Djoko saat dihubungi Warta Kota, Kamis (18/12/2014).
Djoko menuturkan tak sedikit perusahaan taksi menggunakan strategi menyusupkan orang ke perusahaan taksi pesaingnya.
Di sana orang yang disusupkan melakukan perusakan nama baik dan citra perusahaan taksi pesaingnya dengan cara merugikan konsumen.
"Sehingga konsumen akhirnya menilai perusahaan taksi yang dimaksud tidak layak," katanya.
Biasanya, kata Djoko, perusahaan taksi yang lebih besar, akan memenangkan cara tak sehat ini karena memiliki modal besar untuk perusakan citra pesaingnya hingga akhirnya mendominasi.
Cara seperti ini, kata Djoko, bukanlah hal baru dan sudah lama dilakukan dan banyak terjadi di daerah-daerah.
"Ini sudah saya dengar sejak lama. Pola seperti ini terjadi di daerah-daerah. Perusahaan taksi di daerah tak mampu melawan pesaingnya yang tiba-tiba masuk dan mampu menarik konsumen dengan cepat. Caranya ya dengan cara membayar orang dan menyusupkannya ke perusahaan taksi pesaingnya," papar dia.
Cara seperti ini, katanya, secara etika bisnis sangat tidak baik. Sebab perusahaan taksi besar seharusnya merangkul pengusaha taksi kecil dan bukan mematikannya.
"Agar ada simbiosis mutualisme dimana masyarakat di daerah dilibatkan dalam membangun bisnis tersebut," katanya.
Terkait dengan aksi perampokan didalam taksi yang dilakukan beberapa orang beberapa waktu lalu dan berhasil diungkap pihak kepolisian, Djoko menilai tidak menutup kemungkinan ada pula motif persaingan usaha dalam kasus itu.
Namun, katanya, hal itu akan sangat sulit untuk dibuktikan. "Ibarat kentut tak berbunyi. Baunya ada, tapi suaranya tak ada. Jadi sulit dibuktikan," ujar Djoko.
Sementara, Kuasa Hukum Taksi Express, Berman Limbong, mengatakan dalam kasus perampokan bermodus sopir taksi itu, mobil yang digunakan bukanlah mobil perusahaannya.
"Sebab, sampai saat ini barang buktinya belum diketahui ada dimana. Artinya kalau memang itu mobil express, pihaknya tentunya akan diundang polisi untuk menyaksikan bersama-sama," kata Berman.
Karenanya, kata Berman, apakah mobil yang digunakan pelaku mobil taksi Express yang hilang, sesuai dengan laporan polisi pihaknya No: 205 di Polsek Setiabudi pada 24 November 2014, hal itu juga belum bisa diketahui.
"Kami laporkan hilangnya taksi kami ke Polsek Setiabudi pada 24 November, dimana taksi nomor polisi: B 1733 KTD, dengan nomor lambung: BD 6075 hilang. Itu dari segi bukti formalnya. Artinya sepanjang pihak-pihak yang membangun rumor tidak bisa membuktikan bahwa mobil itu adalah yang kami laporkan maka belum dapat dipastikan kebenarannya," tegas Berman.
Sebab, katanya, taksi yang dipakai tersangka S untuk merampok berplat nomor depan B 1147 TDL, dan di belakang: B 3317 K.
"Dari nomor polisi saja sudah beda, dan nomor lambungnya 8015. Jadi ada duplikasi daripada nomor lambung mobil express yang aktif," katanya.
Sebelumnya, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Rikwanto, mengatakan, penyidik masih mencari taksi Express yang hilang.
"Hingga kini masih dicari. Manajemen Express menyatakan ada orang berbaju safari yang mengambil mobil itu. Dan pencuri bukanlah karyawan mereka," katanya.(bum)