TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejanggalan demi kejanggalan terus terungkap dalam kasus dugaan kekerasan seksual oleh guru Jakarrta Intercultural School (JIS). Dalam sidang kemarin, dua saksi korban memberikan keterangan yang tak lazim.
Salah satu anak, Alex (AL) mengaku dirinya senang bermain bersama teman-temannya di sekolah. Si anak juga mengungkapkan bahwa ibunya ikut mengajar di kelasnya dan sering berada di sekolah. Si anak tiap hari diantar dan dijemput oleh ibu, nanny (suster) atau ayahnya.
"Jadi mustahil jika diantar jemput oleh ayah dan ibunya tiap hari, mereka tidak mengetahui ada sodomi terhadap si anak," tegas Hotman Paris, kuasa hukum Neil Bantleman dan Ferdinant Tjong, dua guru JIS yang dijadikan terdakwa kasus ini.
Hotman mengatakan dua hal yang dapat menjelaskan hal ini, pertama bahwa kasus sodomi tidak pernah terjadi, yang kedua tuduhan ini hanya sebuah cerita yang direkayasa.
Hotman menegaskan, keterangan anak tidak bisa dijadikan alat bukti berdasarkan KUHAP. Apalagi pada saat menjawab pertanyaan dari jaksa, dipersidangan anak banyak mengatakan lupa, tidak tahu, dan tidak ingat.
Hotman juga mengungkapkan, bahwa si anak (AL) ketika diperiksa kepolisian dalam kasus salah satu petugas kebersihan -- yang juga disaksikan si Ibu-- menyampaikan bahwa dia tidak pernah mengalami kekerasan seksual.
Menurut Hotman, cerita guru ini muncul belakangan. Sejak awal kasus kekerasan seksual ini muncul pada Maret, tidak pernah ada penyebutan guru-guru dalam cerita-cerita tentang tuduhan kejahatan seksual.
Baru ketika mediasi antara ibu pelapor pertama (TPW) dan JIS menemukan jalan buntu, kasus guru muncul dengan cerita tuduhan fantastis. "Dengan menyeret guru, ibu pertama menaikkan gugatannya hingga hampir Rp 1,5 triliun. Fakta-fakta seperti ini harus bisa diungkap pengadilan untuk tahu apa motif sebenarnya dari kasus ini," tegas Hotman.
Sebagai gambaran, di bulan April, melalui pernyataan yang dikutip media, OC Kaligis dan Kepala KPAI mengatakan bahwa orang yang dicurigai melakukan kejahatan asusila adalah orang berambut panjang, pirang, dan dikuncir kuda, bermata biru dengan badan atletis.
Sementara ciri-ciri ini sangat bertentangan dengan dua orang guru yang ditahan dan dijadikan terdakwa saat ini. Neil botak, sedangkan Ferdi berambut pendek. Keduanya tidak ada yang bermata biru.
Menurut Hotman, si anak dari pernyataan awalnya ketika BAP, sudah mengatakan ia tidak mengalami kekerasan seksual. Menjadi pertanyaan bagi kami, ketika cerita anak ini berubah belakangan, dan tempat tuduhan kejadiannya terus berubah-berubah.
Selain kesaksian anak yang tegas menyatakan tak ada sodomi dan kekerasan seksual lain, kasus ini menjadi aneh lantaran jaksa tak menyebut waktu dan tempat kejadian di surat dakwaan.
Dalam dakwaan disebutkan, kasus yang melibatkan kedua guru tersebut "terjadi pada waktu yang tidak dapat diingat lagi dengan pasti antara bulan Januari 2013 sampai bulan Maret 2014 bertempat......(tidak jelas)".
Artinya, dakwaan pidana oleh JPU tidak menyebutkan kapan peristiwa ini terjadi, dimana dan dengan bukti-bukti apa. Dakwaan tersebut tidak memenuhi ketentuan KUHAP, khususnya Pasal 143 ayat (2) huruf B yang mengharuskan disebutkan uraian yang jelas dan cermat atas waktu terjadinya pidana.
"Setelah kita diperlihatkan banyak keanehan dan akrobat hukum dalam kasus pekerja kebersihan, kini kita harus menjalani sebuah kasus dimana jaksanya sendiri tak tahu pasti lokasi dan waktu kejadiannya. Semoga keadilan dan kebenaran masih bisa terungkap dalam kasus Neil dan Ferdi ini," tutur Hotman.