TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengusaha nasional Sandiaga S. Uno hari ini terlihat mendatangi Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Kedatangan pemilik Saratoga Group tersebut bukan untuk menghadiri sidang pra-peradilan kasus Budi Gunawan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sandi, begitu dia akrab disapa, datang untuk melihat sidang kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan dua guru di Jakarta Intercultural School (JIS).
"Saya datang untuk ikut memberikan dukungan terhadap upaya pengungkapan kasus ini. Sebagai orangtua siswa di JIS saya ingin memastikan bahwa sekolah tersebut benar-benar aman dan baik buat anak-anak saya. Karena itu kebenaran dan fakta yang sesungguhnya terjadi di JIS harus bisa terungkap dengan jujur," jelas Sandi saat berbincang dengan sejumlah wartawan, Selasa (10/02).
Sandi menambahkan, sejak awal kasus ini muncul, dia terus mengikuti perkembangannya, baik melalui media maupun diskusi dengan para orangtua siswa lainnya. Sejak awal pengusaha yang dua anaknya sekolah di JIS ini mengaku ragu dan tidak percaya kasus ini ada.
Pasalnya sejak bertahun-tahun mengenal JIS, sistem pendidikan di sekolah ini sangat ketat dan penuh kontrol. Bahkan untuk siswa dewasa sekelas SMP dan SMA pun kontrol dan disiplinnya sangat ketat. Itulah yang membuat Sandi sebagai orangtua tanpa ragu memilih JIS sebagai tempat belajar anak-anaknya.
Munculnya berbagai kejanggalan sejak proses penyidikan hingga vonis terhadap para pekerja kebersihan PT ISS membuat Sandiaga makin intens mengikuti kasus ini. Apalagi salah satu pekerja kebersihan meninggal di Polda Metro Jaya saat penyidikan berlangsung. Sebagai orang tua murid Sandi berharap proses persidangan berjalan dengan benar. Dari proses yang dia ikuti, baik keluarga pekerja kebersihan PT ISS dan keluarga dua guru JIS, sangat terlihat mereka sangat terbebani.
"Saya sempat lihat tayangan sebuah TV swasta yang memperlihatkan adanya kekerasan pada korban yang meninggal. Berbagai informasi yang berkembang inilah yang membuat orangtua siswa di JIS makin aktif untuk mendukung pengungkapan kasus ini. Semoga aparat penegak hukum dapat mengungkapkan kebenaran itu," jelas Sandiaga.
Sandi berharap pengadilan dapat menjadi tempat yang tepat untuk mengungkap kebenaran dan menegakkan keadilan. Ditengah karut marut persoalan hukum saat ini, penuntasan kasus JIS secara obyektif, fair dan adil akan mampu membangun keyakinan dan kepercayaan publik terhadap hukum. Terlebih lagi kasus ini juga menjadi perhatian komunitas global mengingat siswa-siswa JIS berasal dari berbagai negara.
Pengadilan harus mampu memastikan bahwa yang bersalah dihukum dan membebaskan mereka yang tidak pernah terlibat. Menghukum pihak yang tidak pernah berbuat tentu merupakan pelanggaran HAM berat. Menurutnya, jangan sampai pengadilan menghukum orang yang tidak pernah berbuat salah seperti banyak terjadi dalam kasus-kasus pidana yang pernah dia baca di media.
“Saya berharap yang benar harus dibebaskan dan yang salah harus diproses secara hukum.Sebagai orang tua murid saya minta institusi pendidikan jangan sampai dikriminalisasi. Ini adalah ujian bagi hukum di Indonesia, semoga bisa lulus ujian. Saya yakin doa orang teraniaya selalu dikabulkan. Selain itu kita tetap berusaha untuk suatu kebenaran,” ujarnya menambahkan.
Berbagai kejanggalan dalam kasus JIS terus terungkap dalam persidangan dua guru JIS yaitu Neil Bentleman dan Ferdinant Tjong. Dr Lutfi dari Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI) Jakarta saat menjadi ahli di persidangan mengatakan bahwa hasil pemeriksaan medis terhadap MAK, salah satu siswa JIS yang diduga menjadi korban kekerasan seksual ini, bukanlah visum yang konklusif, hanya sementara.
Pasalnya, pemeriksaan terhadap MAK hanya dilakukan di UGD dan tidak melalui mekanisme visum yang benar. Pada saat pemeriksaan awal, Dr Lutfi menjelaskan, di lubang pelepas MAK ditemukan adanya nanah. Untuk mengetahui penyebabnya, Dr Lutfi meminta TPW, ibu MAK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan mengenai kondisi si anak. Akan tetapi hal itu tidak pernah dilakukan oleh ibu MAK. Dr Lutfi mengungkapkan, pihaknya tidak pernah melakukan swap atau pengujian terkait dengan nanah di lubang pelepas MAK.
Celakanya, hasil visum dari RSPI tersebut dijadikan sebagai salah satu dasar pertimbangan majelis hakim untuk menghukum lima pekerja kebersihan PT ISS dengan hukuman 7-8 tahun dan denda Rp 100 juta. Sehari setelah putusan hakim tersebut berlangsung sidang gugatan perdata ibu pelapor yaitu TPW ke JIS senilai hampir Rp 1,5 triliun.