TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemberian izin reklamasi Pantai Utara Jakarta yang dikeluarkan oleh Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sudah sesuai dengan ketentuan undang-undang dan tidak melanggar hukum.
Hal tersebut disampaikan oleh Sunaryo Basuki SH, Ahli Hukum Agraria dan Pertanahan di Jakarta.
"Sejak Otonomi Daerah 1 Januari Tahun 2000, Provinsi DKI Jakarta diberi kewenangan mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan ke arah perairan kepulauan untuk setiap provinsi dan sepertiga dari wilayah kewenangan provinsi untuk Kabupaten/Kota. Ini sesuai dengan pasal 18 ayat 4 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah," ungkap Sunaryo Basuki, Kamis (14/5/2015).
Menanggapi perdebatan terkait izin reklamasi yang dipermasalahkan oleh Dirjen Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pensiunan Dosen FH-UI ini mengatakan, "Tidak tepat kiranya apa yang dipermasalahkan oleh Dirjen KKP, karena sejak Era Otonomi Daerah, Provinsi DKI Jakarta, Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan yang diatur secara khusus dalam UU Pemerintah Daerah. Berbeda dengan keadaan pada masa orde baru," jelas Sunaryo Basuki.
Menurut Sunaryo Basuki, Pantai Utara Jakarta termasuk dalam kawasan strategis nasional.
"Namun, harus tetap diperhatikan dan dihormati kewenangan Gubernur DKI Jakarta atas wilayah laut sampai 12 mil laut dalam pelaksanaan otonomi daerah, menurut pasal27 UU No. 23 Tahun 2014," tambah Sunaryo Basuki.
Sunaryo Basuki menyimpulkan, Pemprov DKI Jakarta sudah memiliki payung hukum yang jelas untuk memberikan izin reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta. Yaitu, Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Lebih lanjut, ia merinci, ada beberapa payung hukum yang dapat menjadi pegangan Pemda DKI Jakarta dalam melaksanakan reklamasi. "Secara yuridis Pemda DKI dapat meneruskan pelaksanaan reklamasi dengan dasar hukum, di antaranya, terdapat sembilan peraturan yang berlaku di lingkungan Provinsi DKI Jakarta dan terdapat enam payung hukum dalam peraturan yang berlaku secara nasional," jelas Sunaryo Basuki.
Menanggapi pihak-pihak yang menolak reklamasi, Sunaryo Basuki mengatakan, kesuksesan reklamasi yang terjadi di negara lain menandakan bahwa reklamasi tidak identik dengan hal-hal bersifat negatif, seperti merusak lingkungan dan menghilangkan mata pencarian warganya. "Terbukti setelah reklamasi, tingkat pariwisata di Dubai naik tajam jika dibandingkan dengan sebelum reklamasi," ujar Sunaryo.
Menurut Sunaryo, reklamasi dapat saja dilaksanakan, misalnya, reklamasi Ancol untuk pengembangan properti dan pariwisata. Pengembangan Water Front City seperti Canal Estate Mutiara Pluit pada masa orde baru. Pengembangan Pantai Utara Jakarta, dan juga di Pantai Utara Kabupaten Tangerang.
"Adapun proyek reklamasi dan revitalisasi di Pantai Utara Jakarta yang akan dilakukan oleh Pemrov DKI Jakarta bekerjasama dengan beberapa perusahaan swasta serta BUMD DKI, setidaknya memiliki beberapa tujuan. Satu, untuk membangun kawasan tersebut menjadi kawasan bisnis dan perekonomian. Dua, dengan adanya reklamasi diharapkan predikat Jakarta berubah menjadi Water Front City. Ketiga, sebagai solusi atas berkurangnya lahan untuk pemukiman," paparnya.
Banyak manfaat yang akan didapat oleh Jakarta dari reklamasi, terutama ketersediaan lahan. Kota-kota yang melakukan reklamasi harus memiliki alasan yang kuat kenapa reklamasi harus dilakukan. Jakarta merupakan kota yang memiliki alasan cukup kuat untuk melakukan reklamasi, tutup Dosen Senior Hukum Agraria ini.
Sementara itu, pakar tata kota dari ITB Ir. Hesti D. Nawangsidi, MSP, mengatakan, peningkatan pemahaman masyarakat tentang reklamasi harus terus dilakukan agar mengurangi kesalahpahaman tentang reklamasi. "Mulai dari pemahaman dasar, persepsi, dan juga opini. Karena hal itu bisa cukup mengganggu bila kita tidak paham lebih mendalam mengenai reklamasi," ujar Hesti.
Hesti menyayangkan kekuatiran yang berlebihan terhadap dampak reklamasi. Menurut Hesti, hal-hal yang dikuatirkan itulah yang ternyata menjadi salah satu alasan kenapa reklamasi Jakarta yang diwacanakan sejak 1994 menjadi tersendat pelaksanaannya.
Hesti menambahkan, banyak solusi untuk mengatasi berbagai dampak negatif tersebut. "Kekuatiran terkait masalah lingkungan, seperti ekologi, terumbu karang, dan lain-Iain, sebenarnya tersedia solusinya," ujar Hesti.
Sebaiknya, kata Hesti, hal-hal yang belum terjadi tidak perlu menjadi persoalan yang sangat membebani dan menghawatirkan. “Saya yakin reklamasi akan membuat Jakarta lebih baik. Kalau kita reklamasi tanpa menghasilkan kondisi yang lebih, ya buat apa dilakukan,” kata Hesti.