TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembangunan reklamasi 17 pulau di Pantai Utara Jakarta, yang dilaksanakan oleh Pemrov DKI Jakarta dengan menggandeng sejumlah pengembang, serta dua BUMD DKI, mendapat sambutan positif dari politisi Kebon Sirih.
Hal itu terungkap saat pelaksanaan diskusi yang bertajuk, “Pentingkah Reklamasi Bagi Jakarta?” pada Sabtu (22/8/2015) di salah satu Rumah Makan di bilangan Cikini Jakarta Pusat.
Bestari Barus, Ketua Fraksi Nasdem DPRD DKI Jakarta pada kesempatan itu mengatakan, bahwa reklamasi teluk Jakarta dapat menjadi solusi atas beban kepadatan penduduk Jakarta yang semakin meningkat, dengan penyediaan ruang daratan yang sangat terbatas.
Menurut Bestari, saat ini pihak DPRD DKI sedang menyiapkan Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sebagai awal, pembentukan Pansus oleh DPRD bertugas untuk mencocokkan hasil temuan lapangan dan penelitian akademis terkait pengembangan kawasan pantura Jakarta.
“Sekarang DPRD DKI tengah menyiapkan Reperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pansus bertugas mencocokan hasil temuan lapangan dan penelitian akademis terkait pengembangan kawasan Pantura Jakarta,” ungkap Bestari.
Senada dengan Bestari, Yayat Supriatna selaku Pengamat Tata Kota yang juga ikut menjadi narasumber dalam diskusi tersebut mengatakan bahwa Reklamasi boleh dilakukan. Namun, Yayat menambahkan, dalam prosesnya, pihak Pemprov harus punya perencanaan yang matang terkait dampak yang dapat timbul dikemudian hari.
“Reklamasi boleh saja dilakukan, asalkan Pemrov DKI dapat mengantisipasi banyaknya jumlah penduduk baru di Jakarta dan bagaimana kebutuhan airnya. Disamping itu, pengelolaan pulau hasil reklamasi sebaiknya dilakukan secara mandiri,” ujar Yayat.
Menurut Yayat, kepemilikan lahan hasil reklamasi tersebut menjadi aset DKI. Nantinya dalam kurun waktu tertentu, sarana prasarana yang telah dibangun harus diserahkan ke DKI. “Kepemilikan lahan ini tetap milik DKI. Dalam jangka waktu tertentu sarana dan juga prasarana yang sudah dibangun harus diserahkan ke pihak Pemprov DKI. Masyarakat harus diberi tahu tentang itu,” kata Yayat.
Rencana reklamasi Jakarta sudah ada sejak 1985
Dalam kesempatan yang sama, Benny Agus Chandra, Kepala Bagian Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup Bapeda DKI, menjelaskan bahwa reklamasi 17 pulau sudah digagas sejak 1985. Pertama kali dilakukan oleh Ancol mulai dari Pantai Mutiara. “Reklamasi 17 pulau sudah digagas sejak 1985 dilakukan oleh Ancol mulai dari Pantai Mutiara,” kata Benny.
Menurut Benny, pada tahun 1994 pemerintah mengeluarkan ide waterfront city. Kawasan utara harus dikembangkan, salah satunya adalah dengan melakukan reklamasi. Hal ini dikuatkan dengan Keputusan Presiden (Keppres) No. 52 Tahun 1995 tentang pengembangan Pantai Utara Jakarta.
“Sejak saat itu banyak ide berkembang hingga akhirnya pada 1994 pemerintah mengeluarkan ide yang disebut sebagai waterfront city. Kawasan utara harus dikembangkan diantaranya dengan melakukan reklamasi. Ini dikuatkan dengan Keputusan Presiden (Keppres) no 52 tahun 1995 tentang pengembangan Pantai Utara Jakarta,” jelas Benny.
Benny meyakini, nantinya reklamasi akan menghasilkan sesuatu yang baik. Namun pihak pengembang juga harus mengikuti peraturan yang berlaku. Menurutnya, jika kondisi Jakarta dibiarkan, maka lama-lama Jakarta akan ditinggalkan. Orang-orang akan lari ke Selatan, dan Puncak. Oleh karena itu, pembangunan di kawasan utara harus dilakukan sekaligus menata kondisi Teluk Jakarta agar menjadi lebih baik lagi.
“Kita perlu dorong pembangunan di kawasan Utara, ini juga sekaligus menata kondisi Teluk Jakarta agar menjadi lebih baik. Banyak yang bilang kita tidak punya pantai publik. Diharapkan dengan reklamasi, ada pantai publik. Intinya, tidak membebani Jakarta, tapi mandiri dan berkontribusi terhadap daratan lama,” tutup Benny.
Reklamasi pantura bukan reklamasi kepulauan seribu
Bestari mengatakan saat ini banyak pihak yang salah mengartikan bahwa reklamasi 17 pulau merupakan reklamasi kepulauan seribu. Padahal reklamasi 17 pulau dan reklamasi kepulauan seribu adalah dua hal yang berbeda. Menurutnya, reklamasi 17 pulau tidak dilakukan di wilayah kepulauan seribu. Kalaupun ada reklamasi pulau seribu, itu dilakukan di pulau tengah.
“Ini bukan pulau seribu. cuma satu pulau seribu yang direklamasi, itu pulau tengah. Tapi kalau yang 17 pulau, itu bukan pulau seribu,” tegas Bestari.
Bestari menambahkan, di Jakarta sudah sangat sedikit lahan yang bisa digunakan untuk mengembangkan pembangunan. Reklamasi tidak masalah untuk dilakukan, selama hal itu sesuai dengan aturan yang berlaku. Terbukanya akses untuk Pemda dan juga masyarakat yang nantinya terkena dampak reklamasi adalah hal yang juga harus diperhatikan.
“Pemda dan masyarakat yang nantinya terkena dampak reklamasi juga harus mendapatkan akses untuk turut menikmati. Namun, dengan aturan-aturan yang ditetapkan pula oleh pengembang-pengembang itu sendiri,” ungkap Bestari.
Tentunya, dalam reklamasi ini juga akan membawa keuntungan dan juga kerugian. Disatu sisi, nantinya akan ada pertambahan lahan yang dapat dimanfaatkan dari hasil pengerjaan reklamasi ini. Namun disisi lain, akan ada beberapa dampak yang sangat perlu untuk untuk diperhatikan. Yang paling utama adalah adanya perubahan bentang alam dan ekosistem yang juga dapat berdampak pada hal-hal lain bila dilakukan secara serampangan.
Bestari mengatakan, bahwa proyek reklamasi ini harus didukung sepenuhnya. Dengan catatan, reklamasi harus dilakukan dengan baik dan juga memenuhi norma-norma serta kaidah-kaidah yang berlaku. Bestari berharap bahwa melalui diskusi ini, nantinya tidak ada kesalahpahaman lagi mengenai reklamasi dan masalah zonasi.
“Ini tentu menjadi perhatian kita semua, kita ingin Jakarta berkembang. Namun tentu berkembangnya terkendali dan membawa manfaat bagi masyarakat Jakarta secara keseluruhan,” tutup Bestari.