TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Indonesia tengah mempertimbangkkan penggunaan pengkebirian kimia pada pemerkosa atau pelaku kejahatan seksual berulang, termasuk kejahatan seks pada anak atau predator seksual anak.
Kebiri kimia dilakukan dengan menyuntikkan obat-obatan tertentu ke tubuh pelaku kejahatan seksual sehingga gairah seksnya tumpul dalam jangka waktu tertentu.
Menanggapi hal ini Ahli Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel menilai jika ini diterapkan pada predator seksual anak sangatlah tidak tepat. Sebab katanya bagi predator seksual anak, keterbangkitan seks tidak sebatas karena hormon saja.
"Tapi juga fantasi. Predator yang sudah lumpuh saat dikebiri kimia, bisa memakai cara non-persetubuhan dan mendorong orang lain untuk menyalurkannya ke anak, sesuai keinginan fantasinya," kata Reza.
Karenanya, kata Reza, dengan kebiri kimiawi, predator seksual anak justru bisa semakin buas. "Sebab tidak sebatas memangsa anak saja tapi bisa siapapun," katanya.
Selain itu, pengaruh kebiri kimia yang hanya dalam jangka waktu tertentu memungkinkannya dilakukan berulang dan menghabiskan uang negara.
"Saya tak rela jika APBN dipakai untuk merawat, dalam tanda kutip, para predator seksual anak itu," katanya.
Sebab tambah Reza dengan injeksi berulang akan memunculkan efek samping yang sangat mungkin membuat sang predator mendapatkan perawatan.
"Apakah rela saat predator seksual anak itu dirawat di rumah sakit juga pakai KIS?," katanya.
Karenanya, menurut Reza, hanya satu hal hukuman yang tepat bagi predator seksual anak berulang. "Jadi? Hukuman mati saja," kata Reza tegas. (Budi Malau)