Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 228 Tahun 2015 tentang unjuk rasa, terus mendapatkan penolakan. Salah satu di antaranya dari Ketua Umum Pergerakan Indonesia, Sereida Tambunan.
Sereida mendesak agar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencabut Pergub tersebut. Dirinya menilai Pergub itu membatasi kemerdekaan menyatakan pendapat dan merusak arti sesungguh era reformasi.
"Pemerintah seolah-olah menganggap aksi demo dari masyarakat sebagai pemicu keributan dan mengganggu ketertiban. Padahal mereka hanya ingin menyampaikan aspirasi. Kami menilai DKI membatasi hak asasi dalam menyampaikan aspirasi," ujar Sereida saat dihubungi pada Minggu (8/11/2015).
Menurut Anggota Komisi B DPRD DKI aksi unjuk rasa yang dilakukan demonstran karena tidak didengarkannya aspirasi mereka oleh pemerintah.
Sereida menilai hanya sedikit petinggi negara yang mau mendengarkan aspirasi para pengunjuk rasa.
Justru, yang lebih sering, kata dia, aparat kemanan yang terlalu responsif ketika pengunjuk rasa melakukan sedikit pelanggaran.
"Kami sering ingin berdialog tapi tidak didengar. Kami akhirnya turun kejalan, biasanya kalau turun ke jalan atau di pusat titik perekonomian, suara kami didengar.
Pengeras suara juga tidak ada masalah, di UU saja tidak ada aturan yang membatasi volume suara. Kalau mau menertibkan ya dengarkan aspirasi kami," ucapnya.
Pada Pergub Nomor 228 Tahun 2015, ditetapkan, bahwa lokasi unjuk rasa dibatasi hanya tiga tempat, yakni di Parkir Timur Senayan, Alun-alun Demokrasi DPR/MPR, dan silang selatan Monumen Nasional (Monas) Jakarta Pusat.
Selain itu waktu unjuk rasa pun ditetapkan, pukul 06.00-18.00 WIB. Aparat penegak hukum dapat menindak tegas demonstran yang melanggar peraturan itu.
Pengunjuk rasa juga dilarang membakar ban atau menggunakan pengeras suara lebih dari 60 desibel (DB). Pergub juga mengatur mediasi antara pemerintah dan perwakilan demonstran. Perwakilan demonstran yang dapat menemui perwakilan pemerintah dibatasi hanya lima orang.