TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemilihan umum kepala daerah (pilkada) serentak gelombang pertama dijadwalkan pada 9 Desember 2015.
Peristiwa ini adalah kali pertama Indonesia menyelenggarakan pilkada secara serentak, meski belum seluruhnya.
Ada 269 daerah, provinsi, kabupaten, dan kota yang akan memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara bersamaan pada hari yang sama.
Pilkada serentak adalah pilihan sulit terbaik yang harus diambil demi perbaikan proses demokrasi Indonesia.
Dukungan penuh pemerintah, peran serta masyarakat dan berbagai elemen bangsa –termasuk Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian RI (Polri), adalah syarat mutlak terselenggaranya Pilkada yang sukses, demokratis, bersih, transparan, aman, dan damai.
Demikian ditegaskan oleh Muliawan Margadana, Ketua Presidium Pusat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) dalam Focus Discussion Group di Jakarta, Senin (7/12/2015) kemarin.
Melalui rilis yang masuk ke Redaksi Tribunnews.com, Muliawan mengajak masyarakat tetap optimis terhadap penyelenggaran pilkada serentak yang pertama kali ini sepanjang sejarah Indonesia.
“Pilkada serentak di 269 daerah ini tidak hanya terbesar di Indonesia, tapi mungkin juga dunia,” papar Muliawan.
Namun ia menyoroti partai politik masih kurang responsif dalam melaksanakan pesta demokrasi kali ini. Menurutnya, hal ini terlihat kurang semaraknya kampanye pilkada kali ini.
Dewan Penasihat ISKA, Leonardo J Renyut mengatakan, problemnya bagaimana melakukan rekrutmen calon kepala daerah secara berkualitas.
Bagaimana masyarakat dicerdaskan untuk menjadi bagian demokratisasi memilih pemimpinnya secara benar, bukan pragmatis seperti yang terjadi sekarang ini.
Ia melontarkan ide agar diadakan konvensi dalam partai politik sehingga dapat melibatkan masyarakat secara luas.
Leonardo mengungkapkan politik uang juga masih marak sehingga perlu sistem pengawasan yang lebih.
Sementara Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai NasDem, Martin Manurung mengatakan politik uang itu praktik yang tidak disuka, tapi itu terjadi di semua lapangan.
“Dan kalau ada calon yang tidak melakukan, 99% dia akan kalah,” tandas Martin. Jadi kita tidak mengatakan Jokowi itu model, sebenarnya Jokowi itu error dalam statistik.
Hal ini diperparah juga dengan pembatasan alat peraga itu, rakyat makin buta dengan calon sekarang.
Menurut Martin, sebagian besar daerah yang politik uangnya tinggi, tidak lepas dari minimnya pengetahuan masyarakat terhadap calon kepala daerah.
Martin melanjutkan, kualitas demokrasi, tidak ada kaitan langsung antara pilkada serentak dan tidak serentak. Karena kualitas partai politik juga belum terlihat dengan baik.
“Praktik mahar politik masih terjadi di seluruh partai politik,” tandas Martin. Selain itu, demikian Martin, dari proses seleksi belum ada perubahan. Dari sisi penyelenggara, masih harus di upgrade sedemikian rupa.
“Karena konflik yang terjadi mayoritas terjadi karena penyelenggara pemilu yang tidak kompeten,” paparnya.
Dari sisi pendidikan politik, jelas Martin, apakah pilkada ini membuat kesadaran lebih baik, tidak juga.
Muliawan mengatakan Pilkada di 269 daerah ini dapat menjadi momentum yang baik.
”Infrastruktur politik kita sedang diuji saat ini,” kata Muliawan.
Ia mengajak masyarakat agar tetap optimis dalam menghadapi ujian yang luar biasa ini.
“Memang ada banyak kekurangan di sana sini, tapi jangan terlalu pesimis dengan mengatakan bahwa hal ini carut marut,” pungkas Muliawan.(*)