News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Sejarah Panjang Prostitusi di Ibu Kota Jakarta: Asal Usul Istilah 'Main Mangga'

Editor: Hasiolan Eko P Gultom
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi prostitusi

TRIBUNNEWS.COM - Penertiban Kalijodo diprediksi tidak akan 'membunuh' praktik prostitusi di DKI Jakarta.

Berkaca dari sejarah ibu kota, bisnis prostitusi selalu dinamis, beradaptasi dan menjelma dalam berbagai wajah.

Sejarah panjang Ibu Kota, menunjukkan praktik prostitusi di Jakarta selalu dipayungi pemerintah.

"Sejak zaman Batavia dipimpin Jan Pieterszoon (JP) Coen, zaman kemerdekaan hingga Gubernur Ali Sadikin, prostitusi dilegalkan," kata pemerhati sejarah, Wenri Wanhar dalam keterangan yang diterima Tribunnews.com, Kamis (17/3/2016).

Penulis Buku Sejarah Gedoran Depok itu menceritakan cikal bakal prostitusi di ibu kota Jakarta. Awal mula persemaian lokalisasi prostitusi terletak di dekat barak-barak militer.

Liesbeth Hesselink dalam bukunya Prostitution: A Necessary Evil, Particularly in the Colonies, mengisahkan bahwa di seluruh dunia, tangsi militer menjadi persemaian prostitusi.

Demikian pula di Batavia, Hindia Belanda.

Di abad ke-17, kata dia, terdapat rumah bordil besar yang menjadi cikal bakal prostitusi ibu kota. Namanya Macao Po. Pelacur-pelacur di sana didatangkan germo dari Portugis dan Tiongkok.

"Pelacurnya dari Macau, makanya namanya Macao Po. Kebanyakan mereka memuaskan hasrat tentara Belanda yang kala itu menguasai Batavia. Posisinya di sekitar stasiun Jakarta Kota," kata dia.

Tentu saja, letak Macao Po dekat dengan barak militer Belanda, Binnenstadt, yang sekarang berada di sekitar jembatan Kota Intan, Kota Tua. Tapi, Macao Po hanya untuk kalangan militer dan "kelas atas".

Seiring perkembangan Macao Po, pemerintah Hindia Belanda kemudian mengatur prostitusi di DKI Jakarta. Tujuannya untuk memisahkan prostitusi untuk kalangan militer dan nonmiliter.

"Tahun 1852 pemerintah Hindia Belanda menerbitkan aturan Reglement tot wering van de schadelijke gevolde, welke uit de prostitutie voortvloeien. Aturan itu mengatur pemisahan rumah bordil tentara (gouvernementskaten) dengan rumah bordil lainnya," ujar Wenri.

Sejak saat itulah, bisnis prostitusi berkembang. Muncul pelacuran baru seperti Gang Mangga, sekarang dekat Stasiun Jayakarta, sebelah timur Macao Po.

"Saking terkenalnya, sampai hari ini penyakit sipilis sering disebut dengan nama Penyakit Mangga, karena kebanyakan 'main' di gang Mangga," kata dia.

"Penyakit Mangga" sempat mewabah di DKI Jakarta pada tahun 1874. Karena mewabah, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru. Intinya, pelacur harus daftar ke polisi. Selain itu, tiap sepekan sekali, pelacur diwajibkan memeriksa kesehatan.

Artinya, menurut Wenri, pemerintah pada saat itu benar-benar melindungi pelacur. Bahkan, pemerintah membangun rumah sakit khusus penyakit kelamin. Yang terinfeksi dikarantina.

Jaminan pemerintah terhadap prostitusi membuat, bisnis rumah bordil berkembang pesat. Sebut saja rumah bordil di Gang Hauber (Petojo) dan Kaligot (Sawah Besar). Kemudian, menyusul dibukanya Pelabuhan Tanjung Priok pada 1883, lalu pembangunan stasiun Pasar Senen, arena pelacuran pun tak lagi terkonsentrasi di sekitar Macao Po.

Di kawasan Senen, Wenri bercerita, ada rumah pelacuran terkenal seantero Batavia. Pemiliknya bernama Umar, cukup tersohor di abad 20. Pelacurnya yang jadi primadona adalah Fientje de Feniks..

Bahkan, kisah Fientje de Feniks sempat dipotret novelis Pramoedya Ananta Toer dalam buku tetralogi Rumah Kaca. Pram mengisahkannya dengan tokoh Rientje de Roo di Rumah Kaca.

Prostitusi terus berkembang. Pemerintah DKI Jakarta juga terus berupaya menata bisnis syahwat itu. Di era Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin tahun 1969, kata Wenri, ada semacam "sensus" pelacur.

Jumlahnya cukup banyak. Jakarta Utara saja ada 13 lokalisasi yang tersebar di sembilan kelurahan.

Usai mendata pelacuran, pada April 1970 Ali Sadikin kemudian mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur nomor Ca.7/I/13/70 tentang pelaksanaan lokalisasi dan rasionalisasi pekerja seks komersial.

Prostitusi lagi-lagi dilegalkan, dipusatkan di Kramat Tunggak.

Namun, apakah langkah Ali Sadikin itu berhasil? Wenri belum bisa memastikannya. Yang pasti, Kramat Tunggak yang dulunya lokasi horor pun berubah jadi ramai. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini