TRIBUNNEWS.COM, DEPOK - Selain dokter Indra Sugiarno, dua dokter anak lainnya di RS Harapan Bunda, Ciracas, Jakarta Timur, disebut oleh para orangtua korban vaksin palsu, pernah memberikan vaksin palsu kepada anak mereka.
Dua dokter itu adalah dokter Dita Setiati, serta dokter Boby.
"Dokter anak Dita Setiati, adalah dokter perempuan yang kasih vaksin palsu ke anak saya. Sementara teman saya, anaknya dikasih vaksin palsu sama dokter laki-laki di RS Harapan Bunda, namanya dokter Boby," kata Lasminar (35), ibu yang anaknya mendapat vaksin palsu di RS Harapan Bunda pada Oktober 2015 lalu, kepada Warta Kota, Selasa (19/7/2016).
Menurut Lasminar, dokter Dita Setiati berpenampilan berjilbab. Meskipun begitu, katanya, sikap dokter Dita berbanding terbalik dengan penampilannya.
"Ihhh, dokter Dita itu sama sekali nggak ramah, ketus dan seadanya saja kalau meriksa anak. Saya kecewa layanannya. Tega sekali dia kasih vaksin palsu ke anak saya," kata Lasminar geram.
Lasminar menuturkan modus pemberian vaksin palsu ke anaknya oleh dokter Dita, dan anak rekannya yang ditangani dokter Boby di RS Harapan Bunda, adalah sama.
"Yakni kami disuruh bayar langsung ke dokter melalui suster. Jadi tidak ke kasir rumah sakit," kata Lasminar, yang tinggal di Hek, Kramatjati, Jakarta Timur.
Menurut Lasminar saat itu, untuk sekali vaksinasi varicella bagi anak pertamanya, ia diminta membayar Rp 600.000.
"Jadi kalau saya bukan dokter anak bernama Indra Sugiarno, yang kini katanya sudah jadi tersangka kasus ini. Tapi dokter Dita itu," kata dia.
Karena hal itulah, kata Lasminar, ia yakin semua dokter anak di RS Harapan Bunda terlibat dalam kasus vaksin palsu ini, dan bukan hanya dokter Indra saja.
Lasminar menjelaskan anak pertamanya itu biasanya mendapat vaksinasi dari RS St Carolus. Namun saat itu di RS St Carolus, vaksin varicella sedang habis.
"Lalu suami saya menelepon RS Harapan Bunda, karena dekat dari rumah untuk menanyakan vaksin varicella," katanya.
Saat itu kata dia, pihak rumah sakit menyebutkan bahwa stok vaksin varicella atau cacar air di rumah sakit sebenarnya habis, tapi ada dokter yang punya vaksin itu secara pribadi.
Saat itulah, kata dia, pihak rumah sakit menawarkan apakah mau dengan vaksin yang dimiliki oleh sang dokter atau tidak, tapi bukan dari rumah sakit. Harga vaksinnya kata Lasminar sesuai tawaran pihak rumah sakit adalah Rp 600.000.
"Kalau mau, katanya, bayarnya nanti langsung ke dokternya dan tidak ke kasir," kata Lasminar.
Karena ingin anak perempuan pertamanya mendapat perlindungan vaksin secara lengkap, Lasminar pun menyetujuinya.
"Besoknya saya sama suami ke RS Harapan Bunda untuk memvaksin anak pertama kami," kata dia.
Menurut Lasminar, anak ditangani oleh dokter anak bernama Dita.
"Jadi ada cerita lucu, setelah anak saya disuntik Vaksin, kami keluar tuh dari ruangan dokter. Terus perawatnya bilang kalau bayarnya langsung ke dokter karena vaksin ini punya dokter. Lalu dibawalah kami ke ruangan lain yang kosong," kata Lasminar.
Di ruangan kosong itu sang suster menanyakan apakah ia mau pakai pakai kwitansi pembayaran atau tidak.
"Saya bilang gak usah sus. Terus, saya tanya berapa harga vaksinnya. Dia bilang Rp 650.000. Padahal sehari sebelumnya suami saya sudah nanya by phone, kalau harga vaksinnya Rp 600.000. Jadi ada selisih Rp 50.000. Karena harus cash, suami saya ambil duit dulu ke ATM," kata Lasminar.
Tak lama, kata Lasminar suaminya kembali dari ATM. Ia pun mengatakan ke suaminya harga vaksin Rp 650.000 dari keterangan sang suster.
"Saya bilang ke suami, nggak usah pake kwitansi ya. Tapi suami saya bilang pakai saja kwitansinya," kata Lasminar.
Saat itu sang suster agak bingung, karena harus memberikan kwitansi kepadanya. Sementara uang Rp 650.000 sudah dipegang sang suster.
Suster itu pun kembali ke ruang dokter untuk membuat kwitansi. "Saya diminta menunggu untuk dapat kwitansinya," kata Lasminar.
Tak lama katanya sang suster datang dengan kwitansi pembayaran sambil mengembalikan uang Rp 50.000.
"Sebab di kwitansi tertulis Rp 600 Ribu bukan Rp 650.000. Susternya lalu bilang, bu kata dokternya bayarnya Rp 600.000 aja. Untuk kapas dan kelengkapan lain gak usah bayar dan sudah termasuk disitu," kata Lasminar.
Menurut Lasminar, awalnya ia yakin sang suster ingin mengambil untung Rp 50.000 saat dirinya mengatakan tak usah pakai kwitansi.
Tapi karena suami saya, maunya pakai kwitansi, si suster jadi gak bisa ambil untung Rp 50.000. Soalnya dari dokternya di kwitansi Rp 600.000 bukan Rp 650.000. Jadi ketahuan deh, mau curangnya. Sudah vaksin palsu, mau curang lagi," kata Lasminar.
Menurut Lasminar, setelah anaknya menerima vaksin palsu, sampai kini tidak ada gangguan kesehatan yang diderita anaknya.
"Tidak ada gangguan kesehatan untuk anak saya sampai sekarang. Tapi saya tetap harus memvaksin ulang anak saya, karena sangat yakin yang dari dokter di RS Harapan Bunda itu palsu," katanya. (Budi Sam Law Malau)