TRIBUNNEWS.COM - Setelah ramai penolakan wacana 'full day school' kali ini muncul surat terbuka.
Joanes Joko, Koordinator Nasional Duta Joko Widodo membuat surat terbuka untuk Mendikbud yang isinya 'menohok'.
Melalui rilis yang masuk ke redaksi Tribunnews.com, berikut isi surat terbuka yang dikutip asli tanpa diubah.
SURAT TERBUKA UNTUK PAK MENTERIKU YANG BARU
(Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Prof. DR Muhadjir Effendy)
Pak Menteri,
Beberapa hari ini, masyarakat kembali di’gaduh’kan dengan pernyataan
Bapak mengenai gagasan “full day school”.
Seolah ini adalah solusi ampuh dan jitu untuk mempersiapkan anak-anak kita menghadapi masa depan.
Saya bukannya tidak setuju dengan ber-wacana.
Namun jika wacana itu dilakukan oleh seorang pejabat negara maka wacana itu akan ditanggapi sebagai keseriusan.
Ujung-ujungnya sekarang yang terjadi adalah kegaduhan di masyarakat.
Daripada membuat kegaduhan, lebih baik Pak menteri berjuang dan
bersinergi bersama pemerintah daerah ataupun instansi lainnya yang
terkait untuk mengupayakan memperbanyak ruang-ruang publik.
Ruang Publik yang bisa membuat anak anak kita bisa berinteraksi dan
berekspresi dengan hal-hal positif.
Bukankah kegembiraan anak-anak kita sekarang ini sudah hilang karena
ruang-2 publik justru tergusur digantikan oleh gedung, perumahan dan
mall yang dibangun secara serampangan.
Lihatlah, berapa banyak lapangan dan sarana olahraga yang bisa dimanfaatkan untuk anak anak membuang sisa energinya sepulang sekolah?
Berapa banyak sanggar-sanggar seni dan kebudayaan di tiap kota yang telah
dimaksimalkan?
Bukankah kita sepakat bahwa kebudayaan Indonesia yang
adiluhung memiliki nilai-nilai dasar pembentukan karakter anak-anak
Indonesia.
Daripada membuat kegaduhan lebih baik memikirkan bagaimana caranya
dengan regulasi seperti apa sehingga stasiun-stasiun televisi kita
tidak meracuni anak-anak kita dengan segala siaran “sampah”nya.
Sehebat dan selama apapun sekolah itu dilakukan selama masih banyak
siaran-siaran “sampah” yang mengejar rating dan profit maka pendidikan
yang diterimanya hanyala kesia-siaan.
Proses pendidikan hanya akan seperti orang yang mengisi air kedalam tong bocor.
Bagaimana pula dengan anak anak yang pola belajarnya auditory
kinestetik bukan sekedar visual, jangankan seharian di sebuah tempat
yang bernama kelas, bisa bertahan lebih dari 2 jam saja sudah hebat
anak-anak ini.
Dan jangan lupa pola-pola pendidikan kita hingga saat ini masih menerapkan pola pengajaran visual sebagai senjata ampuhnya dengan mengagungkan kehebatan nilai akademis ketimbang membangun karakternya.
Yang pada akhirnya justru melahirkan generasi penuh dengan tekanan yang menghalalkan segala cara demi mencapai keberhasilan akademis.
Sementara hingga saat ini nasib ribuan guru bantu yang masih berkutat
dengan kesejahteraan diri dan keluarganya.
Lebih baik Pak menteri memikirkan nasib ribuan pahlawan-pahlawan ini sembari ditingkatkan kualitasnya.
Jangan biarkan mereka menjadi pendidik “ala kadarnya” karena pemerintah abai terhadap nasib mereka.
Semoga Pak menteri masih ingat asal kata “sekolah” yang berasal dari
bahasa latin “Schola” yang berarti waktu luang yang diberikan untuk
belajar.
Dan semoga filosofi Pak Menteri masih ingat dengan seorang
filsuf kuno bernama Lucius Anneus Seneca yang terkenal dengan kalimatnya Non schole, sed vitae discimus ( Latin ) yang artinya: "Kita belajar bukan untuk
sekolah melainkan untuk hidup".
Kita sekolah untuk belajar memecahkan persoalan-persoalan kehidupan ini bukan sebaliknya.
Daripada membuat kegaduhan dengan berbagai wacana lebih baik fokus
pada implementasi visi Presiden Jokowi yaitu pendidikan yang merata
dan berkeadilan.
Pendidikan berkualitas dan murah yang bisa diakses sama rata oleh seluruh anak bangsa tanpa diskrimasi golongan sosial.
Itu yang rakyat butuhkan hari ini.
Itu adalah PR-PR yang semestinya dipikirkan dan diselesaikan
kementerian anda ketimbang berwacana dan menimbulkan kegaduhan publik.
Karena ini saatnya kerja.. kerja dan kerja... bukan berwacana.
Joanes Joko
Koordinator Nasional
Duta Joko Widodo. (*)