WARTA KOTA/Feryanto Hadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Seperti biasanya, pada siang hari aktivitas para kuli angkut di Pasar Induk Beras Cipinang begitu padat.
Belum lama beristirahat dan menyeka keringat, para kuli angkut harus kembali bekerja ketika truk-truk besar pengangkut beras dari berbagai daerah di Jawa kembali datang.
Di sudut lain, puluhan perempuan mulai berkumpul. Mereka terus memandangi aktivitas para kuli angkut, sambil menantikan proses pengakutan beras dari bak truk ke dalam gudang-gudang beras di sana selesai.
Perempuan-perempuan itu adalah pengumpul beras yang tercecer.
Mereka menggantungkan hidupnya dari butir-butir beras para juragan yang jatuh ke tanah.
Sapu lidi dan lempengan besi sudah siap di tangan. Begitu proses pengangkutan selesai, mereka membagi diri menjadi beberapa kelompok, menuju ke beberapa tempat di mana banyak beras tercecer.
Di tengah terik menyengat, dengan gigih mereka menyapu beras-beras yang sudah bercampur dengan debu.
Beras yang kotor itu lalu mereka bersihkan, dipisahkan dengan debu.
Setelah bersih, mereka masukkan beras ke dalam kantong plastik yang sebelumnya mereka selipkan di bagian tubuh mereka.
Di tengah kesibukan perempuan pemungut beras, seorang perempuan tua berjalan sempoyongan ke sebuah tempat. Tampaknya itu sudah begitu kelelahan.
Keringat mengalir melintasi kerut wajahnya. Ia kemudian duduk di bawah sebuah terpal, di sudut pasar.
Dia mengaku bernama Minah. Sudah sepuluh tahun dia mencari uang dengan memunguti beras yang tercecer di Pasar Induk Cipinang.
Di tengah persaingan para pengumpul beras yang ketat, kondisi Minah yang makin melemah akibat usia, membuatnya kini hanya bisa mengumpulkan beras secukupnya.
“Dulu bisa banyak dapatnya. Sekarang paling banyak 10 liter, itupun kalau kondisi saya sedang sehat,” kata Aminah sambil terengah, Selasa (18/10/2016).
Beras yang dikumpulkan Minah adalah beras tidak layak makan, lebih kepada serpihan beras. Biasanya, setelah beras terkumpul, ada orang yang datang ke pasar itu untuk membeli beras yang dikumpulkan Minah dan rekan-rekannya.
“Berasnya itu buat makan ayam. Seliter harganya Rp 4 ribu. Kalau sudah langganan ya saya jualnya Rp3500. Tapi kadang ada beras yang layak makan, saya bawa pulang. Tapi jumlahnya sangat sedikit,” jelasnya.
Usia Minah kini sudah 87 tahun. Di Jakarta, ia lebih banyak hidup sendirian. Sebenernya dia tinggal mengontrak dengan dua rekan lain sesama pengumpul beras, di belakang komplek Pasar Induk Beras.
Tapi, mereka jarang di kontrakan. Minah dan rekannya lebih banyak menghabiskan waktu di Pasar Induk Beras, agar bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Menyambung hidup
Minah berasal dari sebuah desa di Solo, Jawa Tengah. Keputusannya merantau ke Jakarta puluhan tahun silam, karena ia terkena PHK dari sebuah perusahaan pabrik rokok di Madiun.
Pada saat bersamaan, suaminya meninggal dunia lantaran sakit.
“Saya dari Solo, merantau ke Madiun. Tapi pabrik rokok tempat saya bekerja tutup. Saya bingung mau ke mana lagi, di kampung saya tidak punya sawah. Jadinya saya ke Jakarta saja ikut teman saya. Saya diajak ngumpulin beras begini,” katanya.
Sebenarnya Minah punya seorang anak yang saat ini tinggal di kampung halaman, di Solo.
Anak Aminah sudah menikah dan bekerja sebagai buruh tani di sawah milik para tetangganya.
Sang anak sebenarnya sudah meminta Minah agar hidup bersamanya di kampung. Hanya saja, Minah tak enak hati lantaran ia tidak mau merepotkan hidup anaknya yang juga susah.
“Saya bilang ke anak saya, ‘le, aku ndak mau jadi beban kamu. Biar aku di Jakarta saja nyari uang. Kami urusi saja keluargamu,’.”
Penghasilan Minah sebagai pengumpul beras tak menentu. Terpenting bagi Minah, ia bisa menabung sedikit untuk membayar biaya patungan rumah kontrakan. Sisa uangnya, ia gunakan untuk membeli kebutuhan hidupnya sehari-hari.
“Kontrakan sebulan Rp500 ribu, dibagi tiga dengan dua teman saya. Sudah untung saya tidak hidup menggelandang, karena banyak teman saya di sini (sesame pengumpul beras) yang tidur di sembarang tempat karena uangnya tidak cukup untuk mengontrak. Kalau saya, soal makan tidak penting. Yang penting ada tempat tidur meski sempit,” katanya.
Penderitaan para pengumpul beras di sana terjadi pada musim hujan. Pada musim tersebut, beras yang tercecer sangat sulit diambil karena bercampur dengan lumpur tanah.
Minah pun harus bekerja berlipat-lipat kali untuk membersihkan beras, memisahkan dari lumpur. Hasil yang didapat, jelas tidak maksimal.
“Kalau hari biasa kan bisa makan dua sampai tiga kali sehari, meskipun kadang nggak pakai lauk juga. Kalau musim hujan, ya saya sering puasa. Bukan semata-mata karena ibadah, tapi nggak ada yang dimakan,” kisahnya.
Tujuh Kucing
Hal paling mengiris batin, ketika Minah dilanda kerinduan kepada anak dan satu cucunya. Di saat ingin pulang ke kampung halaman, namun tidak ada sepeserpun uang yang ia miliki.
Kondisi itu, kata Minah, menjadi moment yang paling menyiksanya.
Padahal, dulu, ketika usianya belum tua seperti sekarang, ia kerap membayangkan kehidupan masa tua yang tenang, bisa berkumpul dengan anak cucu.
Tetapi kenyataan berbicara lain. Minah tetap harus melanjutkan hidup, meskipun dengan perjuangan yang tak mudah.
Saat Minah sakit, ia juga merasakan betapa sedihnya hidup sendirian, jauh dari keluarga.
Terkadang, ketika ia merasakan sakit luar biasa, ia tidak ingin memperlihatkan rasa sakit itu di hadapan semua orang.
Ia tetap datang ke pasar dan bekerja seperti biasa. Namun demikian, Minah tidak berhasil menyembunyikan sakit yang dideritanya. Melihat kondisi Minah yang lemah dan pucat, beberapa temannya mengantarkan Minah pulang.
“Kalau saya sakit, saya nangis sendiri. Mau minta tolong ditelponin ke kampung, saya takut nanti malah merepotkan. Mau berobat di sini, ndak punya uang. Tapi pernah, suatu hari saya kejang-kejang, teman saya telpon anak saya. Saya dijemput ke sini dan dibawa pulang. Tapi setelah sembuh saya berangkat ke sini lagi,” kata Minah.
Di masa senjanya, Minah kesepian. Tetapi ia beruntung memiliki tujuh kucing kesayangan, tiga kucing di rumah kontrakan dan empat kucing lain di ‘markas’ Minah, di sebuah gubug beratap terpal, di sudut pasar.
Saat Warta Kota berbincang dengan Minah, empat kucing itu sedang makan di samping tubuh Minah.
Sesekali, kucing itu naik ke pangkuan Minah.
“Kalau yang di sini ada empat. Mereka sudah tahu kapan saya datang dan pulang. Tiap pagi saya datang, mereka sudah menunggu di sini,” kata Minah.
Bahkan, setiap hari Minah selalu membawakan nasi dan lauk untuk makanan kucing kesayangannya itu.
“Kalau saya makan, selalu saya sisihkan buat kucing-kucing saya.
Dari kontrakan, bekal makanan saya ada dua. Satu buat makan siang saya, satunya buat kucing-kucing ini. Kami selalu makan siang bersama,” katanya.
Kehidupan ratusan pengumpul beras di Pasar Induk Beras Cipinang tak jauh berbeda dengan Minah.
Hanya saja, Minah yang berusia tua menjadi gambaran seorang manusia yang berjuang dengan cara halal untuk melanjutkan hidupnya.