TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aksi kekerasan oleh kelompok terorisme terhadap jemaah Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur, pada hari Minggu lalu (17/11), hendaknya tidak dibalas oleh aksi serupa.
Sucipto Hari Wibowo, ketua Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) yang merupakan korban bom Kedutaan Besar (Kedubes) Australia pada tahun 2004 lalu, menyampaikan bahwa kekerasaan tidak seharusnya dibalas dengan kekerasan.
Hal itu menurutnya justru akan menimbulkan korban kekerasan lainya.
"Bila kita ikhlas atau kita menerima musibah ini, kita nantinya bisa berpikiran dan berprilaku dengan baik juga, kalau kita masih dendam atau masih marah, dalam hidup kita juga akan baik," ujarnya dalam konfrensi pers di Hotel Sofyan Betawi, Jakarta Pusat, Kamis (17/11/2016).
Dwi Welasih, yang merupakan korban bom JW. Marriott pada 2003 dalam kesempatan yang sama, mengatakan bahwa ia awalnya sempat trauma atas nasib yang menipa dirinya.
Namun belakangan hidupnya menjadi lebih baik, ketika ia sudah bisa ikhlas menerima kenyataan tersebut.
"Sebaiknya kita jangan punya dendam dengan siapapun, pemerintah dengan teroris. Itu membuat saya bisa menjalani hidup yang lebih baik," ujarnya.
Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA) Hassibullah Satrawi dalam kesempatan yang sama mengatakan pihaknya ikut berduka atas aksi pelemparan bom molotov ke jamaah gereja, yang menewaskan seorang perempuan berumur 2,5 tahun, Intan Olivia.
"Kami turut berbelasungkawa, dan turut mengutuk aksi teror di Samarinda itu, yang telah menimbulkan jatuhnya korban." ujarnya.
AIDA dan YPI mendukung Polisi untuk bekerja secara maksimal, untuk mengungkap siapa saja dalang dibalik peristiwa itu, dan mendukung agar porses hukum dilakukan.