TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Berbagai cara dilakukan Polisi untuk mengantisipasi aksi 2 Desember mendatang.
Salah satunya yaitu, melalui pelarangan yang dikatakan langsung oleh Kapolri Jendral Pol Tito Karnavian, dan maklumat oleh masing-masing Kapolda untuk menghalau masa ikut aksi tersebut.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Alghiffari Aqsa, menilai tindakan tersebut merupakan kemunduran demokrasi, dan aksi tersebut juga bisa dikatakan bertentangan dengan undang-undang nomor 9 tahun 2008 tentang penyampaian pendapat di muka umum, dan batasan-batasannya.
"Ancaman terhadap demokrasi 2 Desember, juga merupakan ancaman terhadap kelompok masyarakat sipil lain yang menyuarakan ketidakadilan, seperti petani yang dirampas lahannya, kelompok miskin kota yang digusur rumahnya, buruh yang dilanggar haknya atas upah layak," ujar Alghiffari Aqsa, Rabu (23/11/2016).
Dalam pernyataannya Tito Karnavian mengaku menerima informasi soal aksi 25 November dan aksi 2 Desember. Terhadap aksi 25 November Kapolri mengatakan ada kelompok tertentu yang hendak melakukan makar yang dimulai di DPR. Tito Karnavian mengaku akan menindak tegas pelaku makar.
Sementara itu terkait aksi 2 Desember, ia mengaku mendapat informasi bahwa masa akan menggelar salat Jumat di sepanjang jalan MH Thamrin hingga Istana Merdeka. Tito Karnavian mengingatkan soal aturan menggelar aksi, dan mengatakan "Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998, penyampaian pendapat di muka umum merupakan hak kontitusi dari warga. Namun tidak bersifat absolut."
Tito Karnavian mengaku siap menindak tegas para pelaku. Dalam pernyataannya Tito Karnavian bahkan secara tegas melarang masa untuk menggelar aksi, dan mengatakan setiap Kapolda akan menghalau masa di daerahnya masing-masing untuk ikut aksi tersebut.
Penyebutan kata makar keluar dari mulut Tito Karnavian sendiri. Tindakan terebut diatur di pasal 104,106 dan 107 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dengan ancaman hukuman maksimal hukuman mati. Namun masalahnya pasal-pasal tersebut adalah pasal "karet,"atau multitafsir, yang sempat menjadi andalan pemerintah di era orde baru.
"Dalam demonstrasi, merupakan hal yang lazim demonstran menyampaikan ketidakpuasannya terhadap pemerintah atau berteriak agar Presiden dan Wakil Presiden mengundurkan diri atau digulingkan. Merupakan hal yang berlebihan jika kepolisian menerapkan pasal makar," katanya.
"Perlu diingat rezim yang berkuasa saat ini menikmati betul kebebasan berekspresi ini ketika melawan Orde Baru, menurunkan Gus Dur, ataupun mengkritisi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono," terangnya.
Alghiffari Aqsa juga menegaskan bahwa dengan sikapnya terhadap pernyataan Tito Karnavian dan maklumat Kapolda, bukan berarti LBH Jakarta maupun dirinya mengambil sikap terhadap dinamika yang dipicu oleh pernyataan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
LBH Jakarta kata dia juga mendukung aksi tetap digelar, namun dilakukan dengan tertib dan damai, sesuai aturan yang berlaku.