News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kasus Ahok

Tolak Pengadilan Massa, AMSIK Nilai Ahok Korban Kriminalisasi

Penulis: Yurike Budiman
Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama bersiap menjalani sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama di PN Jakarta Utara, Jakarta, Selasa (20/12). Sidang lanjutan dengan agenda tanggapan jaksa atas nota keberatan (eksepsi). TRIBUNNEWS/ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/Pool

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yurike Budiman

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aliansi Masyarakat Sipil untuk Konstitusi (AMSIK) menilai Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok merupakan korban kriminalisasi.

"Kami ingin menegaskan kembali bahwa Ahok adalah korban kriminalisasi karena telah terjadi pelanggaran terhadap "due process of law" dan HAM. Pengadilan ini tidak lebih dari akibat tekanan massa," kata perwakilan AMSIK dari Aliansi Bhinneka Tunggal Ika, Nia Syarifuddin, dalam konferensi pers di Cikini, Kamis (22/12/2016).

Hal itu berdasarkan penilaiannya setelah mencermati dua persidangan Ahok pada 13 dan 20 Desember kemarin.

AMSIK menjelaskan beberapa alasan Ahok dianggap sebagai korban kriminalisasi.

Pertama, tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) berdasarkan pada pendapat dan sikap keagamaan MUI pada 11 Oktober 2016.

Padahal dalam sistem hukum dan perundangan-undangan di Indonesia tidak mengenal fatwa keagamaan MUI sebagai sumber hukum positif.

"Pada prinsipnya di dalam menjalankan proses hukum kan kita tidak bisa menjadikan fatwa MUI sebagai bagian dari landasan hukum dan kita menyesalkan ini terutama dalam proses persidangan Ahok. Fatwa itu bersifat tidak mengikat dan tidak wajib diikuti," jelas Nia.

Alasan lainnya, AMSIK melihat JPU telah mengabaikan UU 1/PNPS/1965, sebagai ketentuan hukum positif yang masih berlaku dan belum pernah dicabut atau dibatalkan keberlakuannya saat menggunakan pasal 156a terhadap Ahok.

Menurutnya, JPU mengesampingkan mekanisme yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) terhadap seseorang yang diduga melakukan penafsiran yang menyimpang tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia, yaitu prosedur peringatan keras untuk menghentikan perbuatan itu yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama.

Apabila Ahok masih juga melanggar peringatan tersebut, barulah kemudian dapat diterapkan ketentuan pidana.

"Dakwaan JPU tanpa memperhatikan dan menjalankan mekanisme peringatan terhadap Basuki Tjahaja Purnama adalah praktik penerapan hukum pidana yang menyesatkan dan wujud nyata dari upaya kriminalisasi," ujarnya.(*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini