Laporan Wartawan Tribunnews.com, Y Gustaman
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebanyak 108 Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) di seluruh kecamatan di Jakarta memantau hari pertama masa tenang.
Sepanjang pemantauan JPPR menemukan setidaknya tiga pelanggaran di antaranya alat peraga dan banyak kampanye, dan dokumen dugaan politik uang.
Sesuai pengertiannya, alat peraga kampanye atau APK adalah semua benda atau bentuk lain yang memuat visi, misi, dan program pasangan calon, simbol, atau tanda gambar pasangan calon yang dipasang untuk keperluan Kampanye. APK bertujuan untuk mengajak orang memilih pasangan calon tertentu yang difasilitasi oleh KPU.
"Dalam hari pertama di masa tenang (12 Februari) masih terdapat banyak sekali alat peraga dan bahan kampanye tersebar di seluruh Jakarta," ungkap Koordinator Nasional JPPR, Masykurudin Hafidz, kepada Tribunnews.com, Senin (13/1/2017).
Bahan kampanye dari tiga pasangan calon tersebut tersebar. Spanduk, baliho dan stiker pasangan calon nomor 1 masih terpampang di Jalan Mandor Iren, Sunter Jaya, Jalan Kayu Manis, Matraman, Jakarta Timur dan Jalan Kramat Raya Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara.
Spanduk dan stiker pasangan calon nomor 2 di Kelurahan Menteng, Jakarta Pusat.
Spanduk dan flyer pasangan calon nomor 3 di Jalan Raya Kanal Banjir Timur, Duren Sawit, Kelurahan Utan Kayu Selatan, Matraman, Jakarta Timur dan Serdang, Kemayoran, Jakarta Pusat.
Sementara dugaan politik uang aktivis JPPR menemukan dokumen digital bermaterikan mempengaruhi pilihan pemilih dengan menjanjikan uang dan barang.
Dikatakan Masykurudin, dokumen digital tersebut berasal dari tiga pasangan calon di Jakarta. Ia merinci dokumen pasangan calon nomor 1 terkait kartu dengan materi prioritas mendapatkan dana bergulir tanpa bunga sebesar Rp 50 juta.
Dokumen dari pasangan calon nomor 2 terkait dengan kupon pasar murah dengan Rp 20 ribu per paket. Dan dokumen dari pasangan calon nomor 3 terkait brosur formulir pendaftaran relawan dengan imbalan kupon minyak gratis.
"Ketiga dokumen digital tersebut telah menyebar melalui media sosial dengan sangat cepat. Menjadi perbincangan masyarakat pemilih Jakarta tentang kebenaran dokumen dan materinya," ungkap dia.
Benar tidaknya dokumen tersebut telah menimbulkan pertanyaan publik yang perlu ditelusuri kebenarannya.
"Jika benar perlu penelusuran tindakan penegakan hukum lanjutan, jika bohong perlu ditelusuri pembuatnya karena telah menyebarkan informasi palsu," tegas Masykurudin.
Menurut dia, politik uang sebagai cara purba mempengaruhi dengan uang dan atau barang agar masyarakat pemilih menentukan pilihan sesuai kehendak pemberi materi tersebut.
Mereka terbukti politik uang seperti termaktub dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2016 Pasal 73 terancam pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji.