Menurutnya, Masjid Al-Hidayah berdiri sejak 1999, terbuka untuk umum, dan telah memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sebagai tempat ibadah dan rumah tinggal sejak 2007.
Komunitas Ahmadiyah, katanya, selama ini terlibat aktif dalam kegiatan sosial masyarakat Sawangan, dan aktif bersilaturahmi dengan para tokoh dan ulama di Sawangan.
"Serta tidak pernah melanggar hukum apa pun. Di dalam SKB 3 Menteri 2008 tentang Ahmadiyah tidak ada larangan melakukan ibadah dan kegiatan, sehingga penutupan paksa masjid oleh pihak pemkot yang mendasarkan diri pada SKB 3 menteri dan turunannya sampai Perwali Depok tentang Ahmadiyah, adalah tidak berdasarkan aturan yang benar," papar Fitri.
Menurutnya, tindakan penyegelan dan upaya penutupan paksa masjid, tidak berdasarkan keputusan pengadilan, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang sah.
"Serta untuk masalah agama, otoritas ada di pemerintah pusat, dan bukan pemerintah daerah sesuai undang-undang otonomi daerah," imbuhnya.
Karena itu, Fitri menyesalkan sikap Pemkot Depok yang diskriminatif dan tidak melaksanakan kewajibannya untuk melindungi seluruh warganya melaksanakan ibadah, serta hak berserikat dan berkumpul.
"Karena semuanya dijamin oleh negara melalui undang-undang dasar," ucap Fitri.
Fitri juga meminta ketegasan sikap Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, dengan memastikan Pemkot Depok tidak menghalangi hak beribadah dan berkumpul komunitas Ahmadiyah sesuai keyakinannya, termasuk di lokasi Masjid Al-Hidayah di Sawangan ini.
"Kami meminta Kapolri memastikan seluruh jajaran Kepolisian dari mulai Polda Metro Jaya, Polres Depok, dan Polsek Sawangan untuk menjamin keamanan Komunitas Ahmadiyah," pintanya.
Sebab, sebagai warga negara yang sah, kata Fitri, mereka berhak mendapat jaminan dalam melakukan ibadah maupun menjaga harta dan dirinya dari tindakan kekerasan dan tindakan intoleransi dari pihak lainnya. (Budi Malau)