News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Elang Sakit saat Ayahnya Pergi untuk Selama-lamanya

Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Jenasah Deden Hidayat Maulana (31) pendaki korban tersambar petir di Gunung Prau, Dieng, Jawa Tengah dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Depok

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Canda tawa Lilis Sulistyawati bersama sang suami, Ady Setiawan, pada Jumat (21/4/2017) pagi rupanya menjadi momentum kebahagiaan terakhir bagi pasangan itu sebelum keduanya berpisah untuk selama-lamanya.

Saat itu sang suami berpamitan hendak melakukan pendakian ke Gunung Prau di Wonosobo, Jawa Tengah.

Jumat (21/4/2017) malam, lelaki yang akrab disapa Wawan itu berangkat bersama 10 sahabatnya.

Wawan berencana kembali pada Senin (24/4/2017) pagi.

Petugas Kepolisian dibantu tim SAR dan warga mengevakuasi 11 pendaki gunung asal Jakarta yang tersambar petir di Gunung Prau, kawasan Desa Dieng, Kejajar, Wonosobo, Minggu (23/4/2017). Dari 11 pendaki, 3 diantaranya tewas di tempat, 2 orang luka-luka, dan 6 lainnya selamat. TRIBUNNEWS/HO (TRIBUN/HO)

Hanya saja, kenyataannya amat pedih. Wawan kembali hanya tinggal nama.

Rentetan kejadian yang begitu cepat dan mengejutkan ini dirasakan Lilis bagai seperti sebuah mimpi buruk.

Bahkan, hingga proses pemakaman suamimya, Wawan, di TPU tanah wakaf Gotong Royong Cipinang Muara, Jakarta Timur, Senin siang, Lilis masih tampak terpukul.

Matanya masih lebam akibat menangis seharian. Badannya lemas.

Jenazah pendaki yang tersambar petir di Gunung Prau, Deden Hidayat Maulana (31) tiba dirumah duka di Jl Benuang VI No 44 RT 08 RW 11, Bakti Jaya, Sukmajaya, Depok, Jawa Barat, Senin (24/4/2017). (Fransiskus Adhiyuda)

Hati Lilis luluh lantak mendapat ujian berat ini.

"Tidak ada yang berpikir dia akan kembali dalam keadaan seperti itu," ucap Lilis, lirih, saat memulai perbincangan dengan Warta Kota di kediamannya Jalan Cipinang Muara II, Pondok Bambu, Jakarta Timur.

Lilis bilang ia tidak punya firasat buruk ketika Wawan berpamitan pada Jumat petang.

Hanya saja, anak semata wayang mereka yang berusia 2,5 tahun, Muhammad Elang Ghifari, sempat rewel dan meminta ayahnya agar jangan pergi.

11 Pendaki Tersambar Petir di Gunung Prau Dieng, Begini Kronologi Kejadiannya! (capture)

"Pada saat pamitan, suami saya bawa ransel. Anak saya bilang 'Yah, jangan sekolah'. Maksud anak saya dikira suami saya sekolah karena bawa tas. Dia juga nangis saat ayahnya pergi. Bahkan Elang sampai sakit," kata Lilis.

Keesokan harinya, Sabtu pagi, Lilis masih melalukan komunikasi dengan sang suami.

"Dia bilang jam setengah sembilan pagi baru sampai Purbalingga, karena bus yang ditumpangi mogok. Itu komunikasi terakhir kami. Setelah itu handphone-nya tidak bisa dihubungi," kata Lilis.

Pada Minggu petang, keluarga Lilis mendapat kabar dari rekan Wawan yang sama-sama naik gunung.

Petugas Kepolisian dibantu tim SAR dan warga mengevakuasi 11 pendaki gunung asal Jakarta yang tersambar petir di Gunung Prau, kawasan Desa Dieng, Kejajar, Wonosobo, Minggu (23/4/2017). Dari 11 pendaki, 3 diantaranya tewas di tempat, 2 orang luka-luka, dan 6 lainnya selamat. TRIBUNNEWS/HO (TRIBUN/HO)

Kabar itu menyebutkan bahwa rombongan pendaki yang diikuti Wawan terkena musibah di Gunung Prau.

"Mereka bilang rombongan suami saya kesamber petir. Awalnya saya nggak begitu percaya. Tapi pada malam harinya ada info lagi suami saya ditemukan meninggal dunia," ucap Lilis.

Perempuan itu langsung ambruk mendengar kabar itu.

Dadanya seperti dihantam dengan keras, sangat sesak.

Pendaki gunung asal Jakarta yang tersambar petir di Gunung Prau, kawasan Desa Dieng, Kejajar, Wonosobo, dievakuasi ke RSUD KRT Setjonegoro, Minggu (23/4/2017). Dari 11 pendaki, 3 diantaranya tewas di tempat, 2 orang luka-luka, dan 6 lainnya selamat. TRIBUNNEWS/HO (TRIBUN/HO)

Semalaman ia menangis. Tangisannya makin pecah ketika pada Senin pagi mobil ambulance yang membawa jasad suaminya tiba di rumah duka.

Ia tak kuasa melihat kondisi jenazah suaminya.

Hingga Senin siang usai jenazah Wawan dimakamkan pun tangisannya masih belum berhenti.

"Ini sudah takdirnya begini. Saya pasrah saja," kata Lilis yang dinikahi Wawan sejak 2012 lalu.

Ratusan kerabat sejak Senin pagi sudah datang ke rumah duka. Hampir semua anggota keluarga Wawan shock.

Ayah Wawan yang bernama Jaiman Santoso (58) lebih banyak termangu meratapi kepergian anak sulungnya.

Sementara, istri Jaiman, Sutarmi (50), kerap menangis setiap ada kerabatnya datang dan mengucapkan bela sungkawa.

Sudah diingatkan

Pemandangan hampir sama juga terlihat di rumah duka korban bernama Aditya Agung Dermawan (30) di Rumah Susun Guru Cipinang Muara yang jaraknya tak jauh dengan kediaman Wawan.

Ratusan orang berkumpul di lantai dasar rumah susun untuk berbelasungkawa atas meninggalnya pegawai Pegadaian Cabang Citayam itu.

Aditya, yang juga meninggal dalam pendakian itu, meninggalkan seorang istri cantik bernama Siti Nuraini.

"Mereka baru delapan bulan menikah," kata Helmawati (60), ibunda Adit.

Ia bilang sebelumnya sudah mengingatkan Adit supaya tidak naik gunung.

"Saya bilang ke dia, buat apa naik gunung. Kalau dulu masih bujangan boleh saja, kalau sekarang kan sudah nikah. Tapi ya namanya hobi, dia tetap berangkat sama rombongan kawannya," imbuh Helmawati.

Hingga pada Minggu petang keluarga itu mendapat kabar yang mengejutkan mengenai peristiwa mengerikan yang dialami Adit dan rombongan di atas Gunung Prau.

"Saat dapat info awal pada Minggu jam setengah empat sore, masih simpang siur. Kami positive thinking kalau Adit korban yang selamat. Tapi malamnya kami dapat kabar Adit menjadi salah satu korban yang meninggal dunia," jelasnya.

Usai pemakaman, Helma tidak sanggup lagi bercerita mengenai kepergian anaknya.

Ekspresi sedih dan terpukul terpancar dari raut wajahnya, mata yang memerah nampak jelas terlihat dari kedua bola matanya ketika sedang berduduk setelah dari proses pemakaman.

Melihat ibunya tersedih, Ilham Abdi Ramadhan (27), adik korban, menyapa dan memintanya untuk makan terlebih dahulu sambil pengusap-usap pundaknya.

Wanita yang akrab disapa ibu Elma oleh para tetangganya ini meminta kepada awak media untuk bertanya kepada sang adik perihal kepergian anak pertamanya.

"Saya dapat kabar jam 8 malam kalau ada tragedi di Gunung Prau, saya nggak langsung kasih tahu ke ibu dan ayah," kata Ilham saat ditemui di rumah duka, Senin (24/4)

Semua itu ia lakukan agar tidak membuat kedua orangtuanya shock lantaran belum mengetahui kebenarannya secara pasti apakah kejadian tersebut benar terjadi.

"Kemudian saya telepon ke rumah sakit dan dapat informasi ada nama abang saya. Baru saya kasih tau ibu saya," imbuhnya.

Pinjam ransel

Selain Aditya Agung Dermawan (30) dan Adi Setiawan (31), Deden Hidayat Maulana (31), warga Kota Depok, juga menjadi korban tewas tersambar petir.

"Saya pribadi shock lah, nggak nyangka itu adik saya. Istilahnya, Dieng itu daerah yang terkenal dengan gas beracun, tapi kalau sampai disambar petir saya sih nggak nyangka," ungkap Wahyu Mulyana (40), kakak kandung Deden, saat ditemui seusai pemakaman di Taman Pemakaman Umum (TPU) Kalimulya 1, Cilodong, Depok, Jawa Barat, Senin (24/4).

Kendati demikian, keluarga besar Deden mengaku ikhlas ditinggalkan oleh anak bungsu dari empat bersaudara ini untuk selamanya.

"Ibu sama bapak saya, kami semua sangat kaget saat pertama kali dengan kabar Deden sudah tidak ada, tapi kami sekarang ikhlas, memang sudah jalannya begini," kata Wahyu di rumah duka Jalan Binuang 6, No. 44 RT 9 RW 11, Kelurahan Bakti Jaya, Kecamatan Sukma Jaya, Depok, Jawa Barat, Senin.

Wahyu awalnya mengira korban tewas tersambar petir di puncak Gunung Prau bukanlah adiknya.

Selain itu ia sama sekali tak waswas karena kawasan wisata Dieng merupakan wilayah ramah bagi wisatawan.

"Saya sempat mikir, mudah-mudahan bukan dia (Deden). Karena itu (Dieng) kan tempat wisata, nggak terlalu ekstrem lah jalurnya," papar Wahyu.

Pertama kali

Menurut keterangan Wahyu, Deden ternyata baru pertama kali mendaki gunung.

"Baru pertama kali dia mendaki gunung," kata Wahyu.

Untuk itu, Deden sempat meminjam tas besar (carrier) kepadanya tepat seminggu sebelum berangkat bersama teman-temannya ke Gunung Prau.

"Saya tanya dia mau naik gunung mana. Gunung Dieng katanya. Saya bilang Gunung Dieng mah tempat wisata, bukan seperti Gunung Merbabu atau Gunung Semeru. Jadi pakai tas biasa saja. Dia cuma ketawa dibilang begitu," kata Wahyu.

Tapi siapa sangka, itu adalah kali terakhir Wahyu bertemu dengan Deden.

Sang kakak mengira kepergian Deden ke Gunung Prau, Dieng, merupakan bagian dari pekerjaan.

Lantaran bekerja di bagian multimedia, Deden sering mencari spot foto untuk referensi desain.

Menurut Wahyu, sang adik, berangkat ke Gunung Prau pada Jumat (21/4) bersama 10 rekan kerjanya.

"Dia berangkat dari tempat kerja langsung, izin ke ibu saya bilangnya mau ke Jawa, Senin baru pulang," kata Wahyu.

Selama pendakiannya di Gunung Prau, Wahyu mengatakan, tidak ada kabar apapun dari sang adik, sampai akhirnya, pada Minggu (23/4) malam, datang sejumlah orang ke rumahnya yang mengabarkan jika Deden telah tiada.

Jenazah Deden tiba di rumah duka, Senin (24/4) sekitar pukul 10.00 WIB.

Tidak menunggu lama, jenazah langsung dikebumikan di TPU Kalimulya 1 Depok.

Keluarga pun menggelar tahlilan pada Senin malam.

Badai petir

Sebanyak 11 orang pendaki asal Jakarta dilaporkan menghadapi musibah saat rombongan hendak turun dari puncak Gunung Prau, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.

Kasubag Humas Polres Wonosobo AKP Agus Priyono mengungkapkan kronologi kejadian tersebut.

Mulanya, pada Sabtu (22/4), sekira pukul 13.30, rombongan pendaki dari Jakarta dan sekitarnya, sebanyak 11 orang tiba di Base Camp Gunung Prau, Desa Patakbanteng, Kecamatan Kejajar, Wonosobo.

Rombongan tersebut kemudian naik ke kawasan Gunung Prau.

Keesokan harinya, Minggu (23/4), mereka turun dari puncak gunung pukul 10.00.

Sekitar pukul 14.00, rombongan telah sampai di dekat sebuah tower di Desa Dieng, Kecamatan Kejajar, Wonosobo.

Tapi di tengah jalan hujan turun dengan deras disertai badai petir.

Ditambahkan Humas Kantor Basarnas Jateng Zul­hawari Agustianto, mereka kemudian memutuskan untuk berteduh dengan membuat tempat berlindung sementara secara darurat (bivak).

Bivak untuk berteduh dibuat di sekitar tower Nganjil.

"Namun, saat berteduh sebagian pendaki bermain handphone....." (fha/m7/m9/aqy/TribunJateng)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini