TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua SETARA Institute Hendardi menilai vonis terhadap Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok selama 2 tahun Pidana penjara diluar kelaziman.
"Vonis terhadap Basuki di luar kelaziman," ujar Hendardi dalam keterangannya, Selasa (9/5/2017).
Hendardi menjelaskan, majelis hakim memutus melampaui apa yang menjadi tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Karena JPU gagal membuktikan dakwaan primer Pasal 156a, maka, kata Hendardi, Jaksa Penuntut Umum hanya menuntut Basuki dengan Pasal 156 KUHP.
"Meskipun tidak lazim, secara prinsip memang hakim independen dan merdeka dalam memutus perkara, sepanjang tidak keluar dari delik dan dakwaan yang termaktub dalam UU," kata Hendardi.
Namun demikian, lanjut Hendardi, kemerdekaan hakim semestinya haruslah sejalan dan bertolak dari fakta-fakta persidangan.
"Kualitas peristiwa hukum yang menimpa Basuki dan pembuktian yang lemah sepanjang masa sidang, semestinya mampu meyakinkan hakim untuk membebaskan Basuki atau setidaknya memvonis dengan hukuman yang tidak melampaui tuntutan JPU," kata Hendardi.
Hendardi juga menilai bahwa majelis hakim menerapkan standar ganda dalam mempertimbangkan konteks dari peristiwa hukum itu.
"Di satu sisi, hakim mempertimbangkan situasi ketertiban sosial yang diakibatkan oleh ucapan Basuki; tapi di sisi lain, hakim a historis dengan peristiwa yang melatarbelakangi pernyataan Basuki dan pelaporannya oleh kelompok masyarakat. Betapa politisasi identitas dan peristiwa hukum itu dijadikan alat penundukkan yang efektif untuk memenangi sebuah kontestasi," tutur Hendardi.
"Ketidakseimbangan dalam memperlakukan aspek-aspek non hukum inilah yang membuat putusan PN Jakarta Utara mempertegas adanya trial by mob. Kerumunan massa menjadi sumber legitimasi tindakan aparat penegak hukum. Majelis hakim memilih jalan pengutamaan koeksistensi sosial yang absurd dibanding melimpahkan jalan keadilan bagi warga negara, seperti Basuki," kata Hendardi.