TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polda Metro Jaya menyiagakan 10.000 personel untuk mengamankan aksi demonstrasi menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang digelar oleh Presidium Alumni 212 hari ini, Jumat (28/7/2017).
Sementara itu, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Maruf Amin meminta kepada umat Islam tidak perlu mengikuti aksi yang diinisiasi oleh Presidium Alumni 212 itu.
"Kalau MUI sih, Pemerintah, umat, tidak usah terprovokasi, tidak usah ikut," ujar Maruf Amin di Kantor Staf Presiden, Gedung Bina Graha, Jakarta, Kamis (27/7/2017) kemarin.
Maruf Amin menjelaskan bahwa Pemerintah berhak menerbitkan Perppu jika dirasa situasi sudah mendesak.
"Dan nanti Perppu itu akan diuji di DPR. Itu kan berjalan saja, tidak usah ada tekanan-tekanan dari pihak manapun, saya kira itu," ucap Maruf Amin.
Ia kemudian mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati jika ingin membubarkan ormas yang dianggap anti-Pancasila, selain Hizbut Tahrir Indonesia ( HTI).
"HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) ini sudah cukuplah. Kalau yang lain, saya pikir harus hati-hati pemerintah. Dilihat lagi, ada enggak yang sekelas HTI," ujar Ma'ruf.
Ma'ruf menyarankan pemerintah untuk tidak langsung mencabut status badan hukum ormas jika ada yang dinilai anti-Pancasila, tetapi tidak seperti HTI.
"Kalau bisa dibina, tidak perlu dengan pembubaran. Kecuali HTI ya, HTI bubarkan enggak apa-apa. Nah yang lain dibina. Kecuali nanti ormas itu enggak bisa dibina, itu lain soal. Tapi sebaiknya persuasif dulu lah," kata dia.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono menjelaskan terkait aksi yang akan dilakukan hari ini kepolisian telah menerima surat pemberitahuan aksi.
Dalam surat itu, diberitahukan akan ada 5.000 massa yang berdemonstrasi.
"Tentunya polisi antisipasi dengan personel hampir 10.000. Tuntutannya masalah Perppu (Ormas) toh," ujar Argo di Mapolda Metro Jaya.
Ketua Presidium Alumni 212, Slamet Maarif menjelaskan angka tersebut sengaja digunakan lantaran aksi akan dilakukan pada hari Jumat.
Slamet menjelaskan, aksi bermula dengan Salat Jumat di Masjid Istiqlal, lalu long march atau jalan kaki ke depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat.
Sepuluh orang perwakilan demonstran akan bertemu dengan perwakilan dari Mahkamah Konstitusi untuk menyampaikan aspirasi.
1.000 bendera merah putih akan dikibarkan sebagai simbol penolakan Perppu Ormas.
"(Kita) salat Jumat terlebih dahulu di (masjid) Istiqlal, lalu long march ke Istana Negara," kata Slamet.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2008-2011, Prof Dr Mohammad Mahfud MD mendukung pembubaran HTI tersebut.
"Saya mendukung dan setuju pembubaran HTI karena bersifat disintegratif," papar Mahfud MD.
Tapi menurutnya, tidaklah proporsional dan tidak bijaksana jika PNS atau dosen-dosen yang pernah menjadi pengikut HTI diminta mundur dari PNS.
Seperti diberitakan luas, ancaman agar memilih itu datang dari Mendagri Tjahjo Kumolo dan Menristek Dikti M. Nasir.
PNS yang terlibat dalam ormas HTI disebut melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) sehingga dapat dikenakan sanksi.
"Itu tidak proporsional dan tidak bijaksana karena HTI sudah dibubarkan atau dinyatakan bubar," ujarnya.
Juru Bicara HTI, Ismail Yusanto, menilai upaya yang dilakukan pemerintah itu seharusnya tidak dilakukan.
"Mestinya itu tidak boleh dilakukan. Apa salah mereka? HTI salah apa juga sampai sekarang tidak tahu. Kan menurut pemerintah sudah dibubarin. Kenapa juga anggota HTI terus dipersekusi," kata Ismail, kepada wartawan.
Dia mempertanyakan, apa kesalahan yang dilakukan orang terlibat HTI sehingga pemerintah perlu memverifikasi.
Sementara itu, dia melihat, tersangka kasus korupsi memimpin sidang paripurna.
"Apa salah mereka? Mereka tidak korupsi. Sementara di luar sana banyak penjahat dibiarkan saja, tersangka koruptor malah memimpin sidang paripurna," sindir Ismail. (tribun/nic/gle/kompas.com/yat)