Ia mengatakan, almarhum suaminya semasa hidup, selain menjual jasa reparasi peralatan elektronik dan perakit kotak sound system, juga merupakan seorang guru mengaji.
MA mengajar mengaji kepada sejumlah anak di sekitar rumahnya tatkala tidak dapat order perbaikan peralatan elektronik dan merakit kotak sound system.
Oleh karena itu, tuduhan mencuri amplifier dari musala yang notabene-nya rumah Allah sangat di luar logika Siti.
"Suami saya guru ngaji, tidak mungkin nyolong di Musala," kata Siti sembari menitikkan air mata seraya menunduk.
Siti mengatakan, tidak ada masalah ekonomi atau keuangan yang menimpa keluarganya.
Siti bersyukur dari usaha suaminya bisa memperoleh pendapatan sebesar Rp 500 ribu setiap minggu.
Menurutnya, pendapatannya itu terbilang mencukupi. Satu pengeluaran keluarganya yang terbilang besar yakni membayar sewa rumah kontrakan sebesar Rp 700 ribu per bulan.
Selain itu, Siti mengaku sebagai istri juga tidak permah menuntut banyak dari suaminya. Ia lakukan itu karena sadar suaminya tengah merintis.
"Selama ini sih cukup-cukup saja. Namanya usaha kecil, mas. Dia lulusan SMP, berharap banyak juga tidak mungkin," ucap Siti lirih.
Tidak banyak yang dapat dilihat Siti usai suaminya dibakar hidup-hidup oleh sejumlah orang di Pasar Bakti Mulya.
Ia sempat tidak percaya dan tak sadarkan diri saat pihak kepolisian memintanya mengenali foto baju terakhir yang dikenakan suaminya.
"Yang lainnya, sudah luka bakar semua. Dari baju saja yang masih terlihat sedikit sama jidadnya, saya yakin itu dia," kata Siti dengan suara terbata-bata.
Lantas, Siti tak lagi mampu menahan kesedihannya kala memperlihatkan foto dirinya bersama MA dan putra pertama dari telepon genggamnya.
"Tidak banyak fotonya, dia orangnya tidak mau difoto. Hanya ini saja yang terakhir. Hanya ini kenangan saya bersama almarhum," kata Siti dengan suaranya yang mulai parau.