TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sengketa pembebasan lahan Mass Rapid Transit (MRT) di Jalan Haji Nawi, Jakarta Selatan, yang selama ini berlarut-larut memasuki babak baru usai Mahkamah Agung (MA) membacakan putusan pengadilan.
Perselisihan antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan dua orang pemilik lahan sengketa diharap terselesaikan dengan putusan pengadilan tersebut.
"Putusan pengadilan MA memutuskan Pemprov harus membayar Rp 60 juta per meter persegi," ujar Direktur Konstruksi MRT Silvia Halim, di FX Sudirman, Jakarta Selatan, Senin (14/8/2017).
Namun, putusan ini menimbulkan dilema tersendiri di benak Silvia. Ia mengaku khawatir mengenai proses ke depan dalam pembebasan lahan itu.
"Saya khawatir nanti warga di sekitar lahan sengketa akan protes karena harga yang dibayarkan ke mereka lebih sedikit. Mereka nanti bisa minta tambahan bayaran," ujar Silvia yang mengenakan kemeja putih dan rambut dikucir.
Di sisi lain, ia mengaku enggan menerima putusan pengadilan. Lantaran harga tanah sengketa itu aslinya hanya senilai Rp 30 juta.
Menurutnya, putusan pengadilan MA seperti mengambil jalan tengah. Jalan tengah tersebut adalah mengambil harga tengah-tengah antara harga asli dengan harga permintaan pemilik lahan.
Diberitakan, pemilik lahan sengketa yang juga pemilik toko karpet bernama Toko Karpet Serba Indah, meminta Pemprov DKI Jakarta mengganti lahannya seharga Rp 150 juta per meter persegi.
Tak kunjung selesainya masalah itu, berdampak pada pembangunan Stasiun MRT Haji Nawi, Jakarta Selatan.
Imbas dari sengketa itu, tiang struktur penopang Stasiun Haji Nawi tidak dapat dikerjakan. Sehingga stasiun tersebut tidak akan bisa beroperasi bersamaan dengan stasiun lain pada Maret 2019.
Namun, Silvia menegaskan jika kereta MRT tetap bisa beroperasi secara normal dan bisa melewati jalur di Haji Nawi tersebut, meski tidak akan berhenti di stasiun itu.