TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setelah menjalani operasi mata di Singapura pada 17 Agustus lalu, penglihatan Novel Baswedan, penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), masih belum pulih.
Selama menjalani perawatan di negara asing itu, Novel merasa terus dimata-matai oleh orang tak dikenal.
Operasi terhadap Novel dimaksudkan untuk menghilangkan katarak, glukoma, dan jaringan yang mati pada mata kiri.
"Alhamdulillah, operasi tahap pertama berjalan lancar. Sekarang kondisi matanya ditutup lapisan gusi dan selanjutnya diberi salep antibiotik," tutur istri Novel, Rina Emilda, di kediamannya, Jakarta, Senin (28/8/2017).
Rina Emilda atau yang akrab disapa Emil itu juga menceritakan, Novel hingga saat ini masih harus dibantu berjalan dari kamar rumah sakit menuju masjid terdekat.
Pasalnya, mata sebelah kiri Novel masih belum dapat melihat apa-apa, begitu juga pada mata sebelah kanan yang masih buram usai operasi pertama.
Baca: Tubuhnya Kecil Tapi Ilham Berhasil Mengejar dan Duel dengan Pelaku Pembunuhan Lia Astuti
Beberapa kali Novel masih terlihat bingung saat berjalan dan sering menabrak sesuatu di depannya.
Pendamping Novel selama berada di Singapura, Harris Azhar, menyampaikan hingga saat ini terdapat beberapa orang yang memata-matai Novel.
"Iya ada yang memata-matai Novel di Singapura. Kami sudah paham dari awal," jelas Harris.
Dia tidak menampik, hingga saat ini masih ada pihak-pihak yang tidak menyukai Novel.
Harris menilai orang-orang itu masih bebas berkeliaran mengingat hingga empat bulan setelah kasus penyiraman terhadap Novel (11 April 2017 lalu) belum ada satupun tersangka yang ditetapkan oleh polisi.
Namun, Harris tidak mengetahui persis apa yang akan dilakukan oleh orang-orang tersebut kepada Novel.
Pihaknya masih tetap percaya kepada pengamanan yang diberikan kepada Novel selama di Singapura.
"Saya tidak tahu, yang pasti bandit-bandit itu masih bebas berkeliaran di luar," tegasnya.
Dalam kesempatan itu Rina Emilda tetap berharap dapat bertemu secara langsung dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Ia sudah mengirim surat sebanyak dua kali, namun pihak Istana masih belum memberikan jawaban.
"Saya berharap Pak Presiden mau melihat fakta-fakta penyerangan ini secara objektif," ucapnya.
Dalam suratnya tertanggal 21 Agustus lalu, Emil dan kuasa hukumnya serta sahabat Novel Baswedan meminta agar Presiden dapat menemui mereka sebelum Hari Raya Idul Adha.
"Tadi siang, saya tanya ke Pak Pratikno (Mensesneg) tapi belum ada jawaban apa-apa terkait pertemuan," katanya.
Bentuk TGPF
Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Azhar Simanjuntak menjelaskan dirinya bersama dengan Emil dan juga pihak lain ingin pemerintah segera turun tangan membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF).
"TGPF ini untuk membuka secara terang alasan mengapa peristiwa ini terjadi kepada Novel," ujar Dahnil.
Dahnil Azhar Simanjuntak masih menduga adanya keterlibatan oknum di kepolisian dalam kasus penyerangan itu.
Baca: Sebelum Meninggal, Lia Sempat Minta Tolong Meski Tubuhnya Berlumuran Darah
"Kami dan pihak keluarga sudah pesimistis, kalau hanya ditangani kepolisian tanpa TGPF. Ada keterlibatan oknum polisi di sini, politisi, dan juga kuda troya yang mungkin ada di pihak KPK," ujarnya.
Ia bahkan menduga ada petinggi kepolisian yang membuat pengusutan kasus itu tidak berjalan secara benar.
"Kasus ini jadinya tidak jelas karena diduga ada petinggi Polri yang buat tidak berjalan," katanya.
Juru bicara Polda Metro Jaya Kombes pol Argo Yuwono mengatakan berdasarkan hasil kajian sementara terhadap berita acara pemeriksaan (BAP) terhadap Novel Baswedan, polisi belum menemukan petunjuk apapun.
Dikatakan, Novel juga tidak menyebut nama seorang jenderal polisi yang sebelumnya dicurigai terlibat teror terhadap Novel.
"Kami sudah mencari-cari di BAP, dia tidak ada memberi petunjuk. Pertanyaan terkait jenderal polisi juga dimasukkan dalam BAP, tapi dia tidak menjawab siapa itu," kata Argo.
Argo mengatakan dalam BAP yang dilakukan itu, Novel hanya menjelaskan kronologi kejadian saat ia disiram air keras oleh dua orang pada subuh, Selasa, 11 April 2017.
"Ya hanya kronologinya saja. Dia juga tidak menjawab jenderal-jenderal itu. Katanya, belum waktunya diungkapkan," kata Argo.
Terkait sketsa yang dibuat kepolisian, Argo Yuwono mengatakan sketsa tersebut bukan sketsa pelaku.
Sketsa tersebut dibuat dari keterangan saksi yang melihat ada beberapa orang berdiri di lokasi kejadian pada beberapa waktu berbeda.
"Itu bukan sketsa pelaku, tapi sketsa berdasarkan keterangan saksi yang melihat ada orang berdiri di TKP pada H-1, ada juga yang dateng H-5. Intinya itu orang asing di daerah tersebut," ujar Argo. (tribunnetwork/rio/coz)