TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pihak Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres sudah memberi penjelasan kepada Dinas Kesehatan DKI Jakarta terkait meninggalnya bayi Tiara Debora.
Dalam jumpa pers, Direktur RS Mitra Keluarga Kalideres, Fransisca dihujani pertanyaan terkait kebijakan meminta uang muka perawatan kepada orangtua Debora di saat darurat.
Namun, Fransisca menolak menjelaskan kepada awak media.
"Untuk pelayanan emergency, kami sudah menyampaikan secara detil kepada Bapak Kepala Dinas dan juga bapak dan ibu di sini bahwa tidak demikian kejadiannya, saya sudah melaporkan kepada beliau," ujar Fransisca di Kantor Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Jalan Kesehatan, Jakarta Pusat, Senin (11/9/2017).
Baca: Kasus Debora, Djarot : Dokter Juga Disumpah kan?
Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Koesmedi Priharto mengatakan, memang terdapat masalah komunikasi yang kurang baik antara petugas informasi rumah sakit dengan keluarga pasien.
Masalah komunikasi ini menimbulkan kesalahpahaman antara pihak rumah sakit dengan keluarga Debora.
Koesmedi mengatakan, berdasarkan pengakuan manajemen rumah sakit mereka tidak mengetahui bahwa Debora merupakan pasien BPJS Kesehatan.
"Awalnya RS tersebut tidak tahu bahwa pasien ini peserta BPJS. Baru diketahui dia peserta BPJS sekitar pukul 06.00 WIB," ujar Koesmedi.
Baca: Bayi Debora Meninggal, Menkes Minta Penjelasan RS Mitra Keluarga Kalideres
Prosedurnya, keluarga pasien harus mengurus administrasi pembiayaan terlebih dahulu sebelum pasien masuk ke ruang PICU.
Minimal biaya yang diberikan ke rumah sakit adalah 50 persen.
"Ini kesalahannya, dari awal harusnya pasien ditanya dia pembiayaannya dibayar oleh siapa? Ternyata dia punya BPJS yang itu tidak terinformasikan (ke pihak rumah sakit)," ujar Koesmedi.
"Kalau itu BPJS, maka pendanaan pembiayaan kegawatdaruratan sampai pasien itu stabil membutuhkan perawatan PICU, itu bisa ditagihkan ke BPJS," tambah dia.
Perbedaan keterangan
Kasus meninggalnya bayi Tiara Debora di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres, Tangerang, Minggu (3/9/2017), menyita perhatian publik.
Nyawa bayi pasangan Rudianto Simanjorang dan Henny Silalahi tersebut tak terselamatkan lantaran telat dirawat gara-gara terbentur biaya.
Henny dan Rudianto menceritakan bagaimana menyesalnya mereka memercayakan nyawa Debora kepada pihak RS Mitra Keluarga Kalideres.
Baca: Sah Jadi Istrinya, Foto Laudya Cynthia Bella Dipajang Jadi Profil Instagram Engku Emran
Berawal dari penyakit pilek yang diderita Debora selama seminggu, keluarga membawanya ke RSUD Cengkareng dan diberi obat dan nebulizer oleh dokter di sana.
"Sebenarnya bayi saya sudah seminggu pilek terus, terus tiga hari sebelum meninggal, batuk-batuk," kata Henny, Sabtu (9/9/2017).
Mereka datang ke rumah sakit terdekat dari rumah mereka, yakni RS Mitra Keluarga Kalideres.
"Tujuan saya cuma nyelametin anak saya, paling dekat ya Mitra Keluarga," kata Henny.
Namun di rumah sakit tersebut, kondisi Debora menurun hingga meninggal karena telat mendapat perawatan lantaran terkendala biaya.
Baca: Gerakan Cap Tangan oleh Anak-anak untuk Rohingya
Orangtua Debora harus membayar uang muka perawatan di ruang PICU sebesar Rp19.800.000, sementara ia hanya punya tabungan Rp5 juta.
Rudianto Simanjorang sempat memohon petugas agar menyelamatkan nyawa anaknya dulu.
Namun uang Rp 5 juta itu ditolak.
Buntutnya, Debora tak tak tertolong hingga meninggal.
Pihak Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres buka suara soal meninggalnya bayi Debora di rumah sakit mereka.
Dalam keterangan persnya, pihak manajemen menyampaikan awalnya Debora diterima instalasi gawat darurat (IGD) sekitar pukul 03.40 WIB dalam keadaan tidak sadar dan tubuh tampak membiru.
"Pasien dengan riwayat lahir prematur memiliki riwayat penyakit jantung bawaan (PDA) dan keadaan gizi kurang baik," kata pihak manajemen dalam keterangan persnya.
Baca: Versi Penjelasan RS Mitra Keluarga Berbeda Soal Tragedi Bayi Debora, Ini Langkah Dinkes Jakarta
Berdasarkan pemeriksaan, bayi pasangan Rudianto Simanjorang dan Henny Silalahi itu diterima pihak rumah sakit dalam kondisi napas berat dan banyak dahak, saturasi oksigen sangat rendah, nadi 60 kali per menit, dan suhu badan 39 derajat celcius.
Pihak rumah sakit menyatakan, mereka melakukan pertolongan pertama berupa penyedotan lendir, pemasangan selang ke lambung dan intubasi (pasang selang napas), lalu dilakukan bagging atau pemompaan oksigen dengan menggunakan tangan melalui selang napas, infus, obat suntikan, dan diberikan pengencer dahak (nebulizer).
Pemeriksaan laboratorium dan radiologi juga dilakukan. Menurut pihak rumah sakit, setelah itu kebiruan berkurang serta oksigen membaik meski kondisi Debora masih kritis.
Kemudian, dokter Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres menyarankan kepada Henny agar Debora ditangani di ruang intensive care unit (ICU).
Dalam keterangan persnya, pihak rumah sakit menyebut Henny menolak perawatan di ICU lantaran terkendala biaya.
Baca: Hmm Foto Ivan Gunawan Sembilan Tahun Lalu Disebut Mirip Christiano Ronaldo
Dokter pun menawarkan kepada Henny agar Debora dirujuk ke RS yang bekerja sama dengan BPJS.
"Ibu pasien setuju. Dokter pun membuat surat rujukan dan kemudian pihak RS berusaha menghubungi beberapa RS yang merupakan mitra BPJS. Dalam proses pencarian RS tersebut, baik keluarga pasien maupun pihak rumah sakit kesulitan mendapatkan tempat," tulis manajemen.
Pukul 09.15 WIB, Henny dan Rudianto mendapatkan tempat di salah satu rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Dokter rumah sakit tersebut menghubungi dokter Mitra Keluarga Kalideres untuk menanyakan kondisi Deborah.
Saat komunikasi antar-dokter belangsung, perawat yang menjaga dan memonitor pasien memberitahukan kepada dokter bahwa kondisi Debora tiba-tiba memburuk.
Dokter segera melakukan pertolongan pada Debora.
Setelah melakukan resusitasi jantung dan paru selama 20 menit, nyawa Debora tak bisa diselamatkan.
Namun, ada kejanggalan dalam pernyataan rumah sakit tersebut yang dibantah oleh Henny, ibunda Debora.
Berikut poin-poinnya:
1. Kekurangan gizi
Pihak rumah sakit Mitra Keluarga Kalideres mengatakan bayi Debora memiliki riwayat jantung bawaan dan gizinya kurang baik.
"Pasien dengan riwayat lahir premature memiliki riwayat penyakit jantung bawaan (PDA) dan keadaan gizi kurang baik," tulis pihak RS dalam keterangan persnya.
Pernyataan itu dibantah oleh Henny.
Menurut dia, Debora tidak memiliki riwayat kekurangan gizi.
Beratnya yang hanya 3,2 kilogram pada usia empat bulan itu, kata dia, karena Debora lahir prematur.
2. Perawatan ICU
Pihak rumah sakit menyebut Henny menolak perawatan di ICU lantaran terkendala biaya.
Dokter pun menawarkan kepada Henny agar Debora dirujuk ke RS yang bekerja sama dengan BPJS.
Pernyataan tersebut disangkal Henny.
Berdasarkan pengakuan Henny, ia sudah memohon kepada pihak administrasi dan dokter jaga agar Debora dimasukan dulu ke ICU RS Mitra Keluarga Kalideres.
Saat itu, ia hanya punya uang Rp 5 juta yang tak cukup untuk membayar uang muka ICU.
"Saya kasih uang yang saya punya Rp 5 juta agar dimasukan NICU dulu, toh nanti kan dipindah," kata Henny.
Ia menyayangkan pihak rumah sakit bersikeras agar uang muka dilunasi.
Sebab, Henny sudah berjanji akan melunasi uang muka Rp 11 juta siang harinya setelah mendapat pinjaman uang dari kerabat.
Curhat orangtua Debora
Henny dan Rudianto tengah dirundung duka mendalam.
Mereka baru saja kehilangan bayinya yang bernama Debora, karena kesulitan membayar adminitrasi pelayanan di rumah sakit.
Warta Kota mencoba menyambangi kediamannya di Jalan Husen Sastranegara, Gang H Jaung RT 02/01 Kampung Baru, Kecamatan Benda, Tangerang, Banten.
Pasangan suami istri ini tinggal di rumah berukuran kecil yang hanya mempunyai tiga ruangan sempit.
Mereka mengontrak di rumah tersebut.
Sepeda motor butut Rudianto terpakri di depan tempat tinggalnya itu.
Henny yang mengenakan daster berwarna cokelat muda, masih tampak murung di ruang tamu.
Ia memegangi pakaian Debora dan menceritakan kepiluannya yang mendalam.
"Anak saya ini memang lahir prematur, ada masalah sama jantungnya. Sudah berobat dan perlahan-lahan keadaanya membaik," ujar Henny saat ditemui Warta Kota di kediamannya, Sabtu (9/9/2017).
Debora yang berusia empat bulan, tiba-tiba mengalami sakit pada Minggu (3/9/2017) dini hari.
Orangtuanya pun panik dan membawanya ke RS Mitra Keluarga, Kalideres, Jakarta Barat.
Baca: Badai Irma akan menghantam Florida, warga diperintahkan mengungsi
"Kami sudah kepanikan, dan langsung bawa ke rumah sakit. Debora batuk pilek dan sesak napas," ungkapnya.
Pihak rumah sakit langsung melakukan pelayanan.
Bayi berusia empat bulan itu segera mendapatkan penanganan di IGD.
Namun, kondisi Debora semakin melemah.
Dokter di rumah sakit tersebut menyarankan agar bayi ini harus dibawa ke ruang PICU.
"Anaknya ini katanya keadaannya makin parah. Banyak dahak dan dilakukan penyedotan. Ruangannya juga di situ dingin, kondisi tubuhnya tidak kuat, makanya harus dibawa ke Ruang PICU," jelas Henny.
Namun sayangnya pasangan suami istri ini mengalami kendala. Mereka kesulitan membayar administrasi.
"Saya enggak punya cukup uang untuk membayarnya. Sudah kekurangan uang, tapi diminta lagi harus bayar lab," paparnya sedih.
Kedua pasangan ini hanya mampu mengeluarkan uang Rp 6 juta sebagai DP. Rumah sakit setempat meminta uang DP sebesar Rp 19 juta.
"Saya kemudian isi pulsa Rp 200 ribu untuk telepon saudara dan teman-teman. Meminjam ke sana ke sini, tapi uangnya tetap enggak cukup," imbuh Henny, haru.
Waktu pun terus berjalan, dan pihak dokter mengabarkan bahwa bayi Debora sudah meninggal dunia.
"Saya teriak, anak saya kedinginan dan tubuhnya putih pucat. Di situ saya menjerit, benar-benar jahat dan kejam ini. Nyawa anak saya hanya selembar kertas administrasi itu."
"Pihak rumah sakit hanya mengucapkan turut berduka cita tanpa memberikan keterangan penyebab kematiannya," papar Henny.
KOMPAS.com/Jessi Carina/Rendy Sadikin
Artikel ini sudah dipublikasikan di KOMPAS.com dengan judul: RS Mitra Keluarga Kalideres Mengaku Tidak Tahu Debora Pasien BPJS