TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI serius melakukan perlawanan terkait beredarnya hoax iklan dan publikasi kesehatan yang menyesatkan dan merugikan masyarakat.
Keseriusan ini ditanggapi oleh Kemenkes dengan melakukan penandatanganan MoU Pengawasan Iklan dan Publikasi Bidang Kesehatan beberapa waktu lalu.
MoU ditandatangani oleh Sesjen Kemenkes, Untung Suseno dengan Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan; Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kemendag, Syahrul Mamma; Sekretaris Utama BPOM, Reri Indriani; Ketua Lembaga Sensor Film, Ahmad Yani Basuki; Kepala Sekretariat Komisi Penyiaran Indonesia, Maruli Matondang; Ketua Presidium Dewan Periklanan Indonesia, Sancoyo Antarikso; dan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi.
Iklan memiliki daya persuasi dan pengaruh kuat terhadap persepsi dan perilaku, apalagi intensitas paparan yang sangat tinggi.
Sesjen Kemenkes, Untung Suseno mengatakan iklan dan publikasi kesehatan yang menyesatkan adalah hoax, karena memberikan informasi keliru, dan berita bohong.
“Oleh karenanya iklan kesehatan sebagaimana hoax kesehatan lain harus diawasi, ditindak, diperangi dan tidak boleh dibiarkan,” kata dr. Untung, pada Penandatanganan MoU, Selasa (19/12) lalu di gedung Kemenkes, Jakarta.
Mendukung rencana Kemenkes tersebut, Dosen Departemen Komunikasi FISIP UI, Nina Armando menyatakan pentingnya edukasi kepada mayarakat terhadap iklan-iklan kesehatan yang hoax dan menyesatkan tersebut.
“Bagus sekali kalau Kementerian Kesehatan turun tangan untuk masalah ini, karena isu tentang kesehatan kan menjadi kepedulian semua orang. Pesan-pesan persuasi yang disampaikan melalui iklan itu harus diperhatikan, karena banyak yang tidak tepat,” jelas Nina.
Ia menambahkan, publik juga perlu mendapat edukasi tentang literasi media. Sehingga, ada proses konfirmasi apakah informasi tersebut benar atau tidak.
Nina melanjutkan, sejauh ini persoalan iklan diatur melalui Etika Pariwara Indonesia (EPI) yang dikeluarkan oleh Persatuan Perusahaan Iklan Indonesia (P3I).
Sayangnya, tidak semua pengiklan adalah anggota P3I sehingga merasa tidak perlu mematuhi aturan tersebut. Selain itu, EPI pun hanya memiliki sanksi sosial dan moral, tidak ada aspek hukum.
Selain iklan produk kesehatan, hal lain yang juga penting untuk diperhatikan adalah iklan produk pangan.
Hal ini mengingat iklan produk pangan, terutama untuk anak kerap mengandung klaim yang berlebih. Nina menyebut iklan susu kental manis salah satunya.
Selama ini, iklan susu kental digambarkan sebagai susu yang bergizi untuk kesehatan keluarga.
“Padahal, konsumen seharusnya melihat kandungan produk pada label, jangan hanya terpengaruh iklan,” ujar Nina.
Sebelumnya, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Dewi Setyarini mengatakan banyaknya pengaduan masyarakat mengenai iklan susu kental manis yang diterima oleh KPI.
Iklan susu kental manis dianggap mengandung informasi yang tidak tepat, dan justru beresiko bagi kesehatan jika produk tersebut dikonsumsi sesuai anjuran iklan.
Untuk menindak lanjuti persoalan tersebut, Dewi mengatakan pihaknya akan bekerja sama dengan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).
“Banyak aduan yang masuk, namun kami belum mempunyai sumber daya untuk menilai kandungan produk dari SKM. Perlu kerja sama dengan Badan POM,” kata Dewi.
Selain bertindak sebagai lembaga yang mengawasi keamanan pangan, BPOM juga berperan sebagai lembaga yang mengeluarkan izin untuk peredaran iklan, termasuk iklan susu kental manis.