TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo mengatakan pola kerja jurnalistik yang lebih banyak mengedepankan kode etik jurnalisme, sehingga informasi berita yang buat benar-benar valid sesuai kaidah pers.
“Masalah kita ini ada hoax, SARA, kebencian,” ungkap Yosep saat menjadi nara sumber di Focus Group Discussion (FGD) bersama Insan Pers dengan tajuk “Pencegahan Paham Radikal Terorisme” di Hotel Mercure, Jalan Subang, Jakarta Pusat, Selasa (25/9/2018).
Yosep menjelaskan bahwa bahaya hoax mampu menenggelamkan fakta, dan itu membahayakan dan tidak sehat dalam berbangsa dan bernegara.
“Hoax menenggelamkan fakta. Misalnya isu jutaan TKI masuk Indonesia, 1000 tentara rakyat Cina masuk Indonesia waktu Pilkada DKI lalu isunya untuk mengawal Ahok, hal ini menjadi aneh,” ujarnya.
Yosep mengungkapkan bahwa 85 persen ide jurnalisme sekarang ini mengambil informasi melalui media sosial.
“Saat ini banyak mengambil referensi informasi dari Medsos. mengambil status orang di Medsos jadi berita, apakah berita itu dikonfirmasi atau tidak,” jelasnya.
Yosep berharap, Pers mempu memposisikan diri sesuai tugas dan fungsinya dengan benar dan memegang aturan dan kaidah jurnalistik.
"Upaya Dewan Pers bagaimana mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada berita-berita yang dihasilkan wartawan profesional, mengembalikan otoritas kebenaran faktual media arus utama, mengembalikan kepercayaan pada profesi jurnalis,” jelas Yosep.
Sementara itu, di sesi sebelumnya, Direktur Pencegahan Paham Radikal Terorisme, Brigjen Pol Ir. Hamli, M.E hadir dengan tema Strategi dan kebijakan dalam pencegahan paham radikal terorisme mengatakan pentingnya insan Pers dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat secara benar dan proposional agar pemberitaan sesuai fakta yang ada dan tidak bias.
Untuk itu, BNPT menggandeng elemen masyarakat diantaranya Tokoh Agama, Kampus, Mantan Napiter, juga salah satunya dari elemen Pers.
Pasalnya, kondisi bangsa Indonesia saat ini tengah diterjang masalah diantaranya berita hoax, ujaran kebencian, radikalisme yang kesemuanya itu berdampak dan berpotensi menciptakan perpecahan, bahkan benih-benih terorisme.
“Kita menghindari yang semacam ini, intoleran, radikalisme. Dua hal itu pemicu terorisme,” kata Hamli.
BNPT, lanjut Hamli, telah melakukan upaya dengan pendekatan lunak, sehingga ada upaya pencegahan, bahkan pada proses penyadaran.
“Penanggulangan dengan pendekatan lunak (kerjasama) dan pendekatan keras,” tuturnya.
Sedangkan Deputi IV KSP, Eko Sulistyo menyampaikan yang dibutuhkan saat ini adalah menggandeng semua unsur elemen yang telah tumbuh sehingga kehadirannya bisa tahan lama dalam mencegah paham radikalisme.
“Sebanyak mungkin melibatkan, bukan bukan membuat (menciptakan kelompok). Di masyarakat kita sudah tumbuh (elemen masyarakat). Dikita dikenal dengan Islam moderat, rahmatan lil ‘alamin yang ditopang dua ormas besar dan juga ada ormas lainya, mereka bisa membuat narasi-narasi terkait pentingnya sebuah toleransi,” paparnya.