“Kalau pendidiknya itu berkarakter tentu itu akan jauh lebih mudah dibandingkan kalau pendidiknya tidak berkarakter. Kalau pendidiknya tidak berkarakter tentu saja akan lebih susah. Karena pendidikan karakter itu kan percontohan, artinya tokoh atau figur seseorang yang bisa menjadi panutan. Jadi pendidikan karakter itu lebih ke arah itu (tokoh yang bisa menjadi panutan),” ucapnya.
Contoh lain menurutnya seperti di dalam Pondok Pesantren (Ponpes) itu, para santri akan lebih melihat apa yang dilakukan oleh Kiai dan Nyainya daripada materi yang diajarkan di Ponpes itu,. Karena apa yang dilakukan para Kiai dan Nyai itu jauh akan lebih melekat kepada para santri. Demikian juga di sekolah, apa yang dilakukan oleh guru itu jauh akan lebih dikenang oleh murid daripada materi pelajarannya.
“Apa yang dikatakan guru itu mungkin bisa lupa. Tetapi kalau apa yang dilakukan oleh guru baik terhadap yang bersangkutan, kepada murid lain maupun terhadap sesamanya, itu jauh akan melekat kepada memori anak. Tetapi kalau gurunya tidak mampu memberikan contoh yang baik atau contoh perilaku karakter, positif, tentunya murid akan susah untuk mencari panutannya,” katanya.
Dirinya mengaku agak pesimis di era sekarang ini untuk dapat menciptakan pendidik yang berkarakter. Hal ini dipengaruhi oleh model Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan yang kualitasnya beragam, baik ada yang bagus dan ada yang ‘abal-abal’. Dan bahkan ada sekolah-sekolah yang sudah mengajarkan paham kekerasan sejak usia dini
“Nah kalau itu nanti tanaga pendidikanya di didik di tempat abal-abal, maka mungkin nantinya juga menciptakan murid yang abal-abal. Memang agak gampang-gampang susah mencari tanaga pendidik yang benar-benar bekualitas dan memiliki karakter,” ucapnya.
Untuk itu menurutnya perlu peran semua pihak untuk bersama-sama mengawasi lembaga pendidikan agar tidak tersusupi paham-paham radikalisme atau kekerasan yang diajarkan tenaga pendidik kepada muridnya.
“Saya kira semua pihak harus ikut mengonbtrol, termasuk orang tua ikut menanyakan kepada anaknya apa yang diajarkan oleh gurunya tadi. Karena ridak mungkin diserahkan kepada pemerintah seluruhnya, untuk mengawasi. Bahkan saya kira Kepala Sekolah sendiri pun juga akan susah mengontrol apalagi kalau satu sekolah ada 20 kelas. Karena kalau sudah di kelas itu menjadi otonomi guru. Karena jangan sampai paham-paham kekerasan itu muncul dari kalangan tenaga pendidik,” kata Darmaningtyas mengakhiri.