TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Wahid Foundation, Yenny Zannuba Wahid mengatakan dari sejumlah riset dan survei Wahid Foundation (WF) mencatat, salah satu faktor utama penyebab intoleransi adalah perasaan terpinggirkan dan terampas dari kehidupan sosial, politik atau ekonomi, disebut juga sebagai perasaan teralineasi dan terdeprivasi.
Misalnya, penilaian atau perasaan di lingkungan sebagaian umat Islam Indonesia bahwa ekonomi orang Islam lebih buruk, muslim diperlakukan tak adil atau suara nonmuslim lebih berpengaruh dibanding umat Islam.
"Bisa dipahami jika perasaan semacam ini dapat kian memperbesar lewat informasi berisi berita palsu atau ujaran kebencian yang beredar di media sosial. Apalagi masih dijumpai ketimpangan ekonomi dan sosial di tengah masyarakat . Disinilah perusahaan media sosial dan pers berperan besar dalam mengurangi intoleransi," ungkap Yenny dalam dialog bertema Media dan Peran Membangun Toleransi Pasca Pemilu 2019 yang dilaksanakan di Sekretariat Wahid Foundation, Kamis (9/5/2019).
Dikatakan Yenny, Survei Nasional Tren Toleransi dikalangan Perempuan Muslim Indonesia 2017, lembaga ini mencatat sebanyak 14,8 persen responden mengalami perasaan terdeprivasi, sekitar 24 Juta Muslim jika diproyeksikan dengan 164 juta pemilih muslim di tanah air.
"Jumlah mereka yang netral artinya antara merasa terdeprivasi atau tidak, lebih banyak lagi, 57,5 persen atau sekitar 94 juta muslim," jelasnya.
Namun demikian, putri kedua mendiang mantan presiden KH Abdurrahman Wahid mengaku bahwa intoleransi menjadi ekfektif karena praktik politisasi identitas atau bahkan politisasi kebencian terhadap kelompok yang berbeda. Politisasi yang dimaksud disini adalah bentuk penyalahgunaan identitas agama, keyakinan, orientasi seksual, gender atau pilihan politik sebagai kapital politik oleh suatu kemlompok, institusi atau kegiatan yang diarahkan untuk mencapai kepentingan dalam mencapai kepentingan dalam mencapai atau mempertahankan kekuasaan.
Seperti dilaporkan sejumlah lembaga, praktik penyebaran berita palsu dan yang berisi kebencian banyak bermunculan menjelang Pilpres 2019, bahkan terus berlanjut hingga hari ini.
"Praktik-praktik semacam ini bukan hanya menyasar pasangan Joko Widodo-KH Marif Amin, tetap juga Prabowo-Sandiaga Uno. Tak bisa dibantah, politisasi semacam ini bakal makin memperkuat segreasi, menamkan ketidaksukaan terhadap kelompok yang berbeda, dan menyusutkan rasa solidaritas, persaudaraan dan kohesi sosial.
Sejauh ini, diakui Yenny faktor-faktor pemicu intoleransi itu menjadi perhatian lembaga ini. Perasaan teralienasi dan terampas dalam isu ekonomi misalnya direspons dengan mengembangkan program desa damai.
"Program itu diharapkan bisa menjadi salah satu jawaban atas menguatnya intoleransi dan radikalisme yang juga menyebar hingga desa. Salah satunya melalui peningkatan kapasitas perempuan dan pemberdayaan ekonomi. Pendekatan ini memberi kesempatan masyarakat memperkuat rasa persaudaraan dan kepercayaan melalui foum yang dikembangkan. Saat ini WF memiliki 9 desa yang mendeklarasikan sebagai desa damai, mendorong lebih dari 1000 kelompok perempuan usaha kecil, meningkatkan kapasitas lebih dari 2000 perempuan dampingi Desa Damai. Selain itu WF juga memiliki koperasi Cinta Damai dengan omset yang dikelola hingga hampir 1 Miliar," papar Yenny