Kerjadian tersebut berawal dari cekcok antara korban dan pelaku.
Korban ingin melaporkan pelaku kepada atasnya karena pernah dipukul oleh pelaku.
Karena merasa tak senang, pelaku sempat pulang untuk mengambil sebilah pisau.
Sekembalinya dari rumah, keduanya kembali terlibat cekcok hingga pelaku menyabet leher korban dengan pisau yang ada di restoran.
Peristiwa tersebut juga tersebar luas di media sosial.
Baca: Polisi Ringkus 3 Pengedar Pil Koplo Jaringan Lapas Porong, Pakai Sistem Ranjau hingga Dibayar Sabu
Baca: Jalur Kereta Api Sepanjang 305 Km Akan Dibangun di Kaltara, Bakal Perkuat Keamanan Perbatasan
Psikolog Universitas Negeri Semarang, Hening Widyastuti menjelaskan, antara dua orang yang terlibat cekcok, seringkali ada konflik yang sedari lama belum terselesaikan.
Karena konflik tersebut belum terselesaikan, maka rasa benci dan dendam semakin lama akan semakin membesar.
Hingga pada akhirnya, ada stimulus untuk kembali menjadi pemiju pertikaian.
Herning mengatakan, persoalan awalnya bisa jadi hanya masalah sepele.
Namun karena konflik berlangsung dalam waktu yang lama, maka pertikaian bisa jadi meledak pada momen-momen tertentu.
"Rasa kebencian dan dendam yang mendera mengakibatkan akal pikiran jernihnya tertutup sehingga dia tidak mampu untuk mengontrol dirinya sendiri berpikir jernih," katanya.
Baca: Profil Wirda Mansur, Pemeran Film The Santri: Anak Yusuf Mansur yang jadi Dirut di Usia 17 Tahun
Baca: Sheryl Sheinafia dan Geng-nya Terjebak Tawuran di Film Bebas
Orang yang berada dalam kemarahan tersebut hanya memiliki satu solusi di pikirannya, yakni membunuh untuk menyelesaikan pertiakaian tersebut.
hening juga menambahkan bahwa kejadian tersebut tidak mengindikasikan adanya kelainan jiwa pada para pelaku.
Pasalnya, orang normal pun bisa melakukan tindakan keji di muka umum dengan catatan sudah ada dendam atau konflik sejak lama.