News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tawuran Manggarai dan Akar Masalah yang Tak Dilirik Secara Serius oleh Pemerintah

Editor: Imanuel Nicolas Manafe
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tawuran antar warga terjadi di Manggarai, Selasa (29/10/2019) (Tangkapan Layar YouTube Kompas TV)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Minggu (1/12/2019) kembali terjadi aksi tawuran antarwarga di kawasan Manggarai, Jakarta Selatan.

Seperti yang sudah-sudah, tawuran ini menghambat arus lalu lintas di sekitar lokasi dan perjalanan kereta rel listrik (KRL) di Stasiun Manggarai.

Baca: Seorang Pria di Tebet Bonyok Dihakimi Warga, Dia Diduga Merudapaksa Anak Tirinya

Polisi sampai perlu menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa.

Tawuran di awal Desember itu merupakan yang ketujuh sepanjang tahun 2019 ini.

Berdasarkan data yang dihimpun Kompas.com, tawuran-tawuran sebelumnya beberapa menimbulkan korban luka dan berlangsung tak cukup sehari.

Tahun ini, tawuran pertama kali pecah pada 22 Januari antara sekelompok pemuda Gang Bedeng dengan Gang Manggis di Jalan Rambutan.

Tawuran itu menyebabkan Jalan Raya Saharjo tak bisa dilalui.

Tawuran kedua terjadi pada 5 Februari, tepat pada malam Hari Raya Imlek.

Saat itu, pemuda Pasar Manggis bentrok dengan pemuda Menteng Tenggulun.

Tanggal 20 April 2019, tawuran lagi-lagi terjadi.

Wali Kota Jakarta Selatan Marullah Matali menduga, ada sengketa lahan parkir yang memantik perseteruan antarwarga itu.

Tiga bulan berselang, tepatnya 15 Juli 2019, ratusan warga kembali terlibat bentrok.

Kali ini di area dekat rel kereta api Stasiun Manggarai.

Tawuran itu melibatkan tiga kelompok massa lintas kota, yakni warga Manggarai Selatan (Magazen) Tebet, Jakarta Selatan; warga Tambak, Jakarta Pusat, dan warga Menteng Tenggulun, Jakarta Pusat.

Tawuran itu berlangsung hingga keesokan harinya, di tempat yang tak jauh beda. Jadwal perjalanan KRL jadi kacau pada dua hari itu, terutama dari sore hingga malam.

Tawuran kemudian pecah lagi pada 3 September, lagi-lagi antara warga Magazen versus Menteng Tenggulun.

Seperti episode sebelumnya, tawuran September berlanjut sampai 4 September 2019, bahkan dengan eskalasi konflik yang makin panas.

Seorang warga kritis kena bacok, dua rumah warga rusak, dan power supply KRL yang tengah melintas memercikkan api karena dihantam batu.

Dari tawuran September, polisi menjaring delapan pemuda yang terbukti positif mengonsumsi narkoba.

Empat di antaranya disebut memakai narkoba waktu tawuran.

Sejak saat ini, polisi memunculkan dugaan bahwa beberapa orang memanfaatkan tawuran di Manggarai untuk sembunyi-sembunyi mengedarkan narkoba.

Pada penghujung Oktober, persisnya tanggal 29, Briptu Daru yang berjaga di daerah itu kena bacok di tangan dan punggung saat tawuran kembali pecah di Manggarai.

Baca: Pembangunan Jalan Trans Papua Terhambat Akibat Sejumlah Peristiwa Penembakan oleh KKB

Ia selamat setelah dievakuasi ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat.

Camat Tebet, Dyan Airlangga menduga ada ajakan lewat media sosial sebelum tawuran itu meletus.

Wajah warga miskin kota

Kawasan Manggarai dan sekitarnya merupakan contoh nyata ironi Ibu Kota.

Di balik derap pembangunan yang begitu gegap di Jakarta, tak sedikit yang tersisih dan akhirnya terlindas.

Baca: Cerita Sartiah, Nenek Berusia 120 Tahun dari Cilincing Jakarta Utara

Manggarai ada di pusat Jakarta walau bukan jantung peradaban modernnya.

Kawasan Manggarai jadi pusaran masalah sosial yang melibatkan kaum miskin kota.

“Di sana ada berbagai macam kegiatan orang bertahan hidup. Dari yang legal maupun ilegal, bercampur-baur di sana. Ada pemukiman isinya orang mabuk, peredaran narkoba, itu semua segala macam underground activity,” kata sosiolog Imam Prasodjo kepada Kompas.com, Senin (2/12/2019).

Imam mengatakan, masalah-masalah sosial kaum miskin kota di Manggarai semakin pelik seiring kian “rakusnya” Jakarta.

Mereka yang tercecer dari laju "peradaban modern” akhirnya harus berdamai dengan kemiskinan struktural.

Remaja kehilangan perhatian dan waktu bersama keluarga, misalnya, karena kedua orangtuanya sibuk kerja serabutan mencari nafkah.

Rumah yang sempit makin tak layak huni karena didiami hingga belasan orang.

Para remaja akhirnya mencari tempat bernaung baru, gangster.

Ini baru satu mata rantai kemiskinan yang berhasil dipotret Imam Prasodjo dan timnya ketika melakukan penelitian selama beberapa tahun.

Celakanya, pemerintah dan polisi seringkali rabun memandang masalah itu.

Rumitnya proses sosial di pelosok-pelosok Manggarai akhirnya tak pernah ditelaah secara detail oleh pemerintah maupun polisi.

“Selalu yang dijadikan alasan (di balik tawuran Manggarai) adalah provokator. Masa dari dulu teorinya provokator terus, yang benar saja?” kata Imam.

“Yang harus dilihat bukan hanya provokator yang notabene sekadar ujung dari sebuah proses. Ada berbagai proses yang lebih mendasar dan selama ini menjadi pendorong, sebagai sebab yang jauh di bawah permukaan yang harus lebih diteliti,” kata dia.

Dari rentetan tawuran di Manggarai tahun ini, pemerintah maupun polisi senantiasa mengemukakan dugaan yang berlainan.

Ada dugaan bahwa tawuran Manggarai disebabkan sengketa lahan parkir.

Lalu polisi, September lalu, membuka kemungkinan aksi tawuran hanya kedok bagi aktivitas peredaran narkoba di Manggarai.

Sementara itu, pemerintah menengarai bahwa tawuran dipicu karena warga Manggarai tidak sejahtera.

“Kami di suku dinas sosial melihat tawuran ini terjadi karena mereka tidak produktif untuk mencari pendapatan,” kata Kepala Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan, Mursidin, Senin.

Perspektif bahwa warga Manggarai tawuran karena tidak produktif akhirnya membuat Sudin Sosial Jakarta Selatan meluncurkan program pembekalan cuci steam bagi para pemuda Manggarai.

Program itu, menurut Mursidin, dilakukan berdasarkan kajian.

Bukan kajian melibatkan peneliti, melainkan rapat dan identifikasi lapangan bersama aparat Kelurahan Manggarai Selatan.

Dalam praktiknya, program itu menjaring hanya 50 pemuda setiap tahun dan dilakukan cuma 3 hari dari 12 bulan, melalui penyuluhan bimbingan teknis.

Pihak lain, kata Mursidin, tentu punya perspektif berbeda melihat fenomena tawuran Manggarai.

“Kalau masalah yang lain, tentu ada bagian lain. Coba tanyakan ke Suku Dinas UMKM, misalnya, atau ke Kesbangpol,” lanjut Mursidin.

Dugaan pemerintah dan polisi memang tidak keliru.

Namun, di saat kondisi sosial warga Manggarai demikian kompleks, mereka justru memandangnya secara parsial dan dangkal.

Akibatnya mudah ditebak, solusi-solusi yang ditawarkan tak banyak berdampak lantaran gagal menyentuh akar persoalan.

Mursidin misalnya, ia mengakui Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan mengalami keterbatasan anggaran untuk mengembangkan program pembekalan cuci steam.

Akhirnya, ia memahami tawuran bisa terus-menerus terjadi karena programnya amat terbatas cakupannya.

Pada 29 Oktober lalu, Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat membacakan ikrar damai untuk mencegah tawuran.

Ada empat poin dalam ikrar itu:

1) Berjanji menghentikan permusuhan dan senantiasa bantu mencegah konflik bersama aparat;

2) Mengutuk keras para provokator;

Baca: Kasus Pencurian di Jagakarsa, Polisi Temukan Puluhan Emas dan Kotak Perhiasan di Rumah Terduga

3) Mendukung pencabutan fasilitas Pemprov DKI kepada pelaku tawuran;

4) Meminta kajian terhadap akar masalah. Ikrar itu tak banyak berguna. Buktinya, pada 1 Desember ini, tawuran kembali pecah.

Perlu penelitian mendalam

Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Setiabudi, Kompol Tri Suryawan mengakui bahwa hingga saat ini, belum ada yang sanggup menemukan akar permasalahan di balik fenomena tawuran di Manggarai. Polisi pun tidak.

“Sampai detik ini kan masih simpang siur (penyebab tawuran). Sudah kami cari akar permasalahaannya. Tapi ya, begitu lagi, begitu lagi,” kata Tri pada 3 September lalu.

Baca: Mendagri Diminta Evaluasi Kehadiran Anies Baswedan dan Penggunaan Monas terkait Acara Reuni 212

Imam Prasodjo tak heran dengan terus berulangnya tawuran di Manggarai dan betapa tidak jitunya solusi-solusi yang ditawarkan.

Senada dengan Tri, Imam mengungkapkan bahwa perlu penelitian yang serius guna menemukan akar permasalahan tawuran itu.

Setelah itu,  pemerintah dapat menyusun langkah-langkah strategis dan tepat sasaran.

Tanpa penelitian yang komprehensif, dugaan penyebab tawuran di Manggarai selalu saja menyederhanakan masalah yang sejatinya pelik.

Baca: Pimpinan DPR Sebut Masalah Perizinan FPI Berkaitan dengan Kondisi Politik Beberapa Waktu Terakhir

“Saya kira memang perlu sekali ada mapping. Selama ini masih absen dari pemerintah. Pemerintah selalu tebak-tebakan, polisi pun juga,” ujar Imam.

“Soal solusi pemberian kerja, misalnya. Ini banyak anak SMP dan anak kecil yang terlibat dalam tawuran. Ini bukan semata-mata masalah orang nganggur dan butuh kerja. Kalau pelakunya anak bukan usia kerja, ya tentu ada kebutuhan lain yang harus dijawab, yaitu kegiatan anak muda. Dan tidak semua jawabannya kerja, karena ini bukan semata-mata orang yang ingin kerja,” ujar dia.

Penulis: Vitorio Mantalean

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul: Tawuran Kerap Terjadi di Manggarai, Solusi Nihil karena Penyebab Tak Diteliti Serius

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini