TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hampir genap satu tahun pandemi Covid-19 melanda tanah air.
Suku Baduy di pedalaman Provinsi Banten tidak ada satupun yang terpapar Covid-19.
Lantas apa rahasianya ?
Hal yang sama juga terjadi pada para petugas penggali makam di TPU khusus Covid-19.
Mereka punya cara sendiri untuk bebas dari intaian Covid-19.
Tak Ada Warga Suku Baduy yang Terpapar Covid-19
Suku Baduy di pedalaman Provinsi Banten, tidak ada satupun warganya yang terpapar virus corona atau Covid-19.
Padahal, di Kabupaten Lebak, jumlah kasus sudah mencapai 1.179 yang tersebar di 28 kecamatan hingga Kamis (21/1/2021).
"Tidak ada, tidak ada sama sekali, masih nihil," kata Tetua Adat Masyarakat Baduy sekaligus Kepala Desa Kanekes, Jaro Saija, kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Jumat (22/1/2021).
Saija mengatakan, nol kasus di Baduy merupakan hasil dari segala upaya yang sudah dilakukan oleh pihaknya untuk mencegah Covid-19 masuk ke dalam wilayahnya.
Antisipasi cepat
Kata dia, sejak corona tercatat pertama kali di Indonesia pada Maret tahun lalu, pihaknya sudah mengantisipasi dengan cepat.
"Warga Baduy yang ada di perantauan diperintahkan untuk langsung pulang, semua pulang dari Jakarta, Tangerang, Bandung," kata dia.
Adapun warga Baduy yang sudah di dalam wilayah Desa Kanekes dilarang untuk bepergian.
Wajib masker di kawasan Baduy
Sebagai kawasan adat yang kerap dikunjungi wisatawan, Baduy juga membatasi kunjungan selama pandemi.
Mereka yang datang ke Baduy, kata Saija, harus mengikuti protokol kesehatan. Warga Baduy juga diwajibkan untuk selalu mengenakan masker.
Upaya lain untuk menangkal Covid-19 juga dilakukan dengan cara tradisional.
Mantra dan doa
Setiap saat, kata Saija, kerap dilakukan doa bersama untuk meminta keselamatan bagi warga Baduy.
"Beberapa waktu lalu bersama Jaro Tangtu kita kumpul, berdoa, nyareat-lah istilahnya untuk keselamatan warga Baduy, kita pagari juga batas-batas wilayah dengan doa, ada mantra-mantranya," kata dia.
Para penggali makam bicara antisipasi tanggal Covid-19
Keseharian para penggali pusara di Taman Pemakaman Umum (TPU) di Jakarta Selatan beberapa minggu ini berbeda.
Mereka diberikan tugas baru sebagai penggali pusara khusus Covid-19 yang terletak di TPU Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Bila kebanyakan orang menjauh dari intaian Covid-19, mereka sebaliknya, bekerja memakamkan jenazah Covid-19.
Para penggali makam pun menyiapkan 'tameng' sebagai pelindung dari Covid-19 yang mengintai saat bertugas di pemakaman.
Rutin Sarapan, Minum Vitamin dan Jamu
Yanto Suyono (55) misalnya, ia rutin sarapan dan minum vitamin sebelum berangkat ke TPU Srengseng Sawah dari rumahnya di kawasan Menteng Pulo, Tebet, Jakarta Selatan.
Istri dan anaknya selalu mengingatkannya. Ia juga tak lupa menenggak jamu sebelum berangkat.
"Enggak pernah saya enggak diingatkan. Setiap abis salat subuh, "ayah kalau mau berangkat sarapan dulu". Minum jamu seduh juga. Buat kesehatan dan pegal linu," ceritanya kepada TribunJakarta.com.
Suryadi Yahya (46), petugas makam lainnya juga menelan vitamin sebelum memulai kerja.
Para penggali makam yang berdinas di TPU Srengseng Sawah diberikan asupan vitamin dari kantor.
Sedangkan Ade (44) setiap pagi rutin menenggak jahe panas untuk menjaga daya tahan tubuh.
"Saya minum jahe setiap pagi. Kita harus jaga kesehatan dan pola makan," tambahnya.
Rutin Ganti Seragam
Yanto juga rutin mengganti seragam setiap hari secara ketat.
Sebelum memasuki rumah, ia terlebih dahulu menanggalkan seragamnya lalu merendamnya di ember.
"Direndam dulu selama dua hari pakai deterjen. Baru dicuci. Saya punya 3 cadangan seragam," ceritanya.
Mandi juga menjadi prioritasnya seusai bekerja di pemakaman.
Usai menanggalkan seragamnya, Yanto bergegas masuk ke kamar mandi sebelum bertemu dengan istri dan anaknya.
"Mandi itu nomor satu. Sebelum masuk rumah, seragam taruh di depan. Baru ambil handuk dan langsung masuk kamar mandi. Demi kesehatan saya dan keluarga," pungkasnya.
Sebuah Ibadah
Para penggali makam pun tak kenal letih menggali pusara untuk jenazah Covid-19.
Sengatan matahari yang memanggang kulit dan hujan yang mengguyur sekujur tubuh tak mengurungkan niat mereka untuk menuntaskan sebuah tugas.
Bagi mereka, tugas memakamkan jenazah Covid-19 adalah sebuah ibadah kepada sang pencipta.
Saat petang merambat, Yanto Suyono (56) tengah melepas lelah bersama petugas makam lainnya di bawah naungan pohon di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Pria asal Surabaya itu bersama rekan-rekannya baru selesai menggotong jenazah Covid-19 dari mobil ambulans menuju pusara.
Yanto sebenarnya berdinas di TPU Menteng Pulo, Tebet.
Namun, ia dan sejumlah teman-temannya dari TPU lainnya di Jakarta Selatan diminta untuk membantu memakamkan jenazah Covid-19 di TPU Srengseng Sawah.
Pasalnya, TPU ini menjadi tempat pemakaman umum khusus Covid-19 di wilayah Jakarta Selatan.
Tampak sebagian dari mereka meregangkan otot-otot dengan berbaring di samping sebuah pusara di waktu istirahat.
Ada juga yang nikmat melahap sepiring siomay.
Yanto ikhlas mengemban tugas memakamkan jenazah Covid-19. Sudah kewajibannya sebagai petugas makam.
"Kita ridho dan ikhlas melakukan tugas ini. Hitung-hitung ibadah, itu aja," ungkapnya sambil duduk di tepi makam kepada TribunJakarta.com.
Saat itu, Yanto bertugas sebagai pembawa peti jenazah berukuran 2,2 meter. Kemarin, ia bertugas sebagai penggali makam.
"Setiap hari selang-seling tugasnya," tambahnya.
Bila bertugas sebagai tukang gali makam, ia harus bekerja sebaik mungkin agar tidak mengecewakan ahli waris ataupun pihak keluarga.
"Kita rapihkan makam sebaik mungkin, supaya keluarga mereka enggak kecewa. Sudah dimakamkan dalam kondisi seperti ini jangan dibikin kecewa lagi," jelasnya.
Ade (44), petugas makam dari TPU Tanah Kusir, juga sependapat dengan Yanto.
Ia, yang ditugaskan di TPU Srengseng Sawah, menganggap tugas yang dilakukannya ini adalah sebuah ibadah.
"Ini ibadah. Kalau kita (petugas makam) kena semua, siapa yang mau makamin lagi?" tambahnya.
Kerja sampai malam
Para penggali makam juga harus merelakan waktu pulang tak seperti hari-hari biasanya.
Sebab, mobil ambulans pembawa peti jenazah silih berganti datang ke tempat pusara tak kenal waktu.
Biasanya mereka baru bisa pulang sekira pukul 22.00 WIB.
"Karena mobil ambulans yang datang kan bukan hanya bawa jenazah dari Jakarta Selatan saja, tapi seluruh Jakarta," lanjut Yanto.
Suryadi Yahya (46) petugas pusara lainnya mengatakan pendapat senada.
Tenaga mereka juga terkuras lantaran jenazah terus berdatangan sejak pagi hingga malam hari.
"Tenaga kita lebih ekstra. Harusnya kita biasanya pulang jam 6 atau jam 7 malam. Tapi jam setengah 10 malam aja masih di sini karena tugas," sambungnya.
Ade menambahkan dalam sehari, mereka bisa memakamkan hingga 56 jenazah dari pagi hingga malam hari.
Paling banyak, lanjutnya, pernah mencapai 70 jenazah per harinya.
"Untuk makamin kita juga dibantu dengan alat pengeruk (ekskavator). Jadi pakai tangan iya, pakai alat juga iya. Kalau 56 jenazah semua pakai tangan (galinya), modar kita," tambah pria asal Pandeglang tersebut. (tribun network/thf/TribunJakarta.com/Kompas.com)