TRIBUNNEWS.COM, BEKASI - Polda Metro Jaya membongkar praktik aborsi ilegal di kawasan Pedurenan, Mustika Jaya, Kota Bekasi, Jawa Barat.
Dalam kasus ini, polisi menangkap tiga orang tersangka yakni ST, ER, dan RS.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus mengatakan dua dari tiga tersangka adalah pasangan suami istri, yaitu ST dan ER.
"Penangkapan pada 1 Februari yang lalu di daerah Pedurenan, Mustika jaya, Bekasi," kata Yusri saat merilis kasus ini di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Rabu (10/2/2021).
Pasutri Otaki Aborsi Ilegal
Yusri menjelaskan, praktik aborsi ilegal yang dilakukan para tersangka tidak dilakukan di sebuah klinik, melainkan di kediaman ST dan ER.
"Kalau ini dia bentuk rumah pribadi, dan tidak ada sama sekali plang untuk melakukan praktik klinik," ujar dia.
Ketiga tersangka memiliki peran masing-masing.
Sang suami, ST bertugas untuk mempromosikan, ER sang istri berperan sebagai eksekutor.
Sedangkan RS adalah orang yang melakukan aborsi.
Pengakuan Pasutri Pelaku Aborsi Ilegal
Kepada polisi, ST dan ER mengaku sudah lima kali melakukan praktik aborsi ilegal di kediamannya.
Namun, polisi akan terus mendalami kasus ini.
Barang bukti yang berhasil diamankan antara lain satu kantong plastik berisi jasad janin hasil aborsi, satu set alat vakum, tujuh botol air infus dan selang, serta, satu kotak obat perangsang aborsi.
Akibat perbuatannya, ketiga tersangka dijerat Pasal 194 Jo Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara.
Bukan Dokter
Kombes Pol Yusri Yunus mengatakan pasangan suami istri tersangka kasus aborsi ilegal ST dan ER, bukan berprofesi sebagai dokter.
Tersangka hanya belajar melakukan aborsi dari tempat dia bekerja sebelumnya.
"ER ini sebagai pelaku yang melakukan tindakan aborsi. Dia tidak memiliki kompetensi sebagai tenaga kesehatan, apalagi jadi dokter," kata Yusri saat merilis kasus ini di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Rabu (10/2/2021).
Sang Eksekutor Hanya Terima Aborsi dengan Usia Janin di Bawah 2 Bulan
Berdasarkan hasil penyelidikan, ER ternyata pernah bekerja di klinik aborsi di kawasan Tanjung Priok pada tahun 2000.
Di tempat itu, ER bekerja selama empat tahun di bagian pembersihan jasad janin yang telah diaborsi.
"Dari situ lah dia belajar untuk melakukan tindakan aborsi," ungkap Yusri.
Namun demikian, lanjut Yusri, ER hanya menerima permintaan aborsi dengan usia janin di bawah dua bulan atau sekitar delapan minggu.
"Karena bagi dia usia (janin) di bawah delapan minggu itu mudah untuk dihilangkan atau dibuang buktinya karena bentuknya masih berupa gumpalan darah," ujar dia.
Baca juga: Aksi Keji Oknum Guru Ngaji di Bekasi, Rekayasa Pembunuhan Tukang Kelapa dan Pacari Istrinya
Pasang Tarif Rp 5 Juta untuk Sekali Aborsi
Selain pasangan suami istri ST dan ER, polisi juga menangkap RS yang merupakan pasien aborsi ilegal.
Yusri mengatakan, tersangka ST dan ER mematok harga jutaan Rupiah untuk sekali melakukan praktik aborsi.
"Tarifnya yang dia terima Rp 5 juta rupiah," kata Yusri.
Namun, dalam melancarkan aksinya, tersangka juga memanfaatkan peran calo.
Bahkan, Yusri mengungkapkan calo tersebut mendapat keuntungan lebih besar dibandingkan ST dan ER.
"Ada pembagiannya. Rp 5 juta si korban membayar. Rp 3 juta untuk calo dan Rp 2 juta untuk yang melakukan tindakan," ujar dia.
Baca juga: Pasien IGD Ditangkap Gara-gara Gugurkan Janin, Alami Pendarahan setelah Konsumsi Obat Aborsi
Yusri menjelaskan, praktik aborsi ilegal yang dilakukan para tersangka tidak dilakukan di sebuah klinik, melainkan di kediaman ST dan ER.
"Kalau ini dia bentuk rumah pribadi, dan tidak ada sama sekali plang untuk melakukan praktik klinik," ujar dia.
Akibat perbuatannya, ketiga tersangka dijerat Pasal 194 Jo Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara. (tribun network/thf/Tribunnews.com/TribunJakarta.com)