TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kelapa merupakan tanaman multimanfaat. Di beberapa negara, kelapa juga sering disebut sebagai pohon kehidupan (tree of life) karena hampir semua bagian dari tanamannya dapat diolah menjadi produk yang bernilai ekonomi.
Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI, Muhammad Syarif Bando saat menjadi keynote speaker di kegiatan Dialog Nasional yang diselenggarakan secara hybrid oleh Perpusnas dengan tema “Membangun Literasi Kelapa Menuju Kedaulatan Produksi Pangan Dalam Negeri” pada hari Kamis (20/5/2021).
Dahulu, bangsa Indonesia dikenal sebagai negara penghasil kelapa terbesar di dunia. Bahkan, di zaman kolonial Hindia Belanda, hasil kopra (kelapa kering) dari pohon kelapa sanggup menghasilkan pemasukan bagi mereka sebesar 40 persen dan dipergunakan untuk keperluan senjata/perang dan pendanaan kerja sama internasional. Predikat ‘Negeri Nyiur Melambai’ pun pernah disematkan karena melihat kaya dan potensi dari pohon kelapa.
Akan tetapi, ketenaran tersebut mulai redup bersamaan dengan kondisi hulu perkelapaan di Indonesia. Karenanya, kita harus membangun kembali kesadaran akan pentingnya tanaman kelapa, baik dari sisi ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan.
Perpusnas dalam hal ini memiliki tanggung jawab besar untuk meningkatkan literasi kelapa agar kelapa kembali menjadi komoditas unggulan nasional. Melalui program transformasi layanan perpustakaan berbasis inklusi sosial, Perpusnas mendiseminasikan diversifikasi literasi kelapa yang terfokus pada informasi dan pengetahuan terapan mengenai kelapa dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
Menurut Direktur Eksekutif International Coconut Community Jelfina Alouw, sejak 2012, Indonesia tidak lagi memegang predikat sebagai produsen kelapa terbesar di dunia karena digantikan oleh India. Luas kebun kelapa yang dimiliki Indonesia saat ini, juga sudah kalah luas dengan yang ada di Filipina.
“Selain disebut sebagai pohon kehidupan, kelapa juga dapat dikatakan sebagai hadiah dari Tuhan karena memang banyak sekali yang bisa dihasilkan dan bisa menjadi penopang hidup petani kelapa. Karena kelapa adalah komoditas rakyat yang layak untuk diperhatikan, maka kita semua harus bertanggung jawab dalam memberikan dukung literasi kelapa kepada mereka,” ujar Jeflina.
Namun, karena usia pohon kelapa yang ditanam juga sudah berusia lanjut yakni di atas 50 tahun, hal ini membuat nilai produktivitasnya menurun.
Bupati Indragiri Hilir, H.M Wardan mengatakan ada beberapa faktor lain yang menjadi penyebab berkurangnya produksi kelapa di daerahnya, salah satunya adalah hama.
“Hama kumbang tanduk, monyet, dan tupai adalah hama yang biasa menyerang buah kelapa milik masyarakat,” ucapnya.
Adapun upaya yang telah dilakukan di kabupaten yang juga dikenal sebagai negeri seribu parit hamparan kelapa dunia ini, adalah mengaplikasikan konsep trio tata air yang terdiri dari saluran, tanggul, dan pintu klep di perkebunan kelapa.
“Pohon kelapa adalah pohon kehidupan bagi masyarakat kami dan parit menjadi pusat kesuburan tanah serta alat transportasi bagi buah kelapa di daerah pasang surut seperti Kab. Indragiri Hilir,” tambah Wardan.
Senada, Wakil Bupati Tanjung Jabung Barat, Hairan menjelaskan di daerahnya perkebunan kelapa sawit sudah dilakukan replanting atau peremajaan oleh pemerintah, sedangkan hal itu belum terjadi untuk perkebunan kelapa dalam.
“Di Kab. Tanjung Jabung Barat itu ada 13 kecamatan, kelapa dalam menjadi primadona di 6 kecamatan dan kelapa sawit di 7 kecamatan. Namun, pemerintah baru hanya memberikan bantuan untuk replanting sampai 30 juta per hektar untuk perkebunan kelapa sawit, padahal tidak ada perbedaan antara kelapa sawit dan kelapa dalam. Replanting penting dilakukan untuk menghasilkan kelapa dengan kualitas yang baik agar harga jual menjadi tinggi,” jelas Hairan.
Lebih lanjut Ketua Sahabat Kelapa Indonesia, Mawardin Simpala menginformasikan bahwa Indonesia ditetapkan krisis kelapa. Organisasi PBB untuk Pangan dan Pertanian Dunia, Food and Agriculture Organization (FAO) sudah mengamati kondisi ini dan secara gamblang mengatakannya pada November 2013. FAO menilai, pemerintah tidak memberikan perhatian ataupun inovasi terhadap pengembangan kelapa secara nasional sejak tahun 1990-an. Ini artinya, sudah 30 tahun industri kelapa nasional Indonesia terabaikan.
“Kalau kita bersama-sama mendorong ekonomi kelapa, berarti kita juga mendorong ekonomi rakyat dan itu peluangnya sangat besar. Karena jika dibandingkan Filipina yang sudah mengekspor 35 macam produk turunan kelapa, Indonesia saat ini baru mengekspor 14 atau 15 macam, itu tandanya ada selisih sekitar 20-21 macam yang masih bisa kita diversifikasi,” ungkapnya.