TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tak hanya kepada Komnas HAM, puluhan warga Bojong Koneng, Kabupaten Bogor, juga turut melayangkan aduan kepada Ombudsman RI terkait dengan sengkarut sengketa lahan dengan PT Sentul City.
Anggota kuasa hukum perwakilan warga Bojong Koneng, Nafirdo Ricky mengatakan, laporan yang dilayangkan tersebut dilakukan karena pihaknya menilai adanya dugaan maladminstrasi dalam perkara tersebut oleh Kementerian ATR/BPN dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bogor.
"Untuk melaporkan dugaan tindakan maladminstrasi oleh kementerian ATR/BPN dan BPN Bogor," kata pria yang karib disapa Firdo tersebut kepada awak media di Komnas HAM, Selasa (28/9/2021).
Lebih lanjut Firdo mengatakan, laporan ini dilakukan agar Ombudsman RI memeriksa terkait proses penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) kepada PT Sentul City oleh BPN Kabupaten Bogor.
"Soalnya kan dia sempet bilang tuh SHGB dari tahun 93-94 kan, nah SK itu yang kita minta untuk diperiksa, SK (Surat Keputusan) penerbitan itu untuk SHGB," ucapnya.
Adapun dalam pelaporan yang dilakukan ke Ombudsman RI ini pihak dari warga Bojong Koneng ini turut menyampaikan beberapa barang bukti.
Adapun barang bukti itu kata Firdo terkait kepemilikan SHGB oleh PT Sentul City yang diterbitkan oleh Kementerian ATR/BPN dalam hal ini BPN Bogor.
"Karena kelalaian mereka menerbitkan sertifikat itu akhirnya Sentul megang SHGB-nya dan warga (Bojong Koneng) sekarang jadi korban, karena gini, SHGB-nya Sentul itu sempat dicabut dua kali, tahun 1994 itu dicabut, kemudian tahun 2002 Sentul baru punya lagi, sempet dicabut dua kali dan sempet jadi tanah negara juga," beber Firdo.
"Kita menyerahkan bukti bagaimana mereka dari kementerian ATR/BPN dan BPN Bogor menerbitkan sertifikat itu kita minta diperiksa itu," tukasnya
Sebelumnya, puluhan warga Bojong Koneng, Kabupaten Bogor secara resmi melayangkan aduan terkait sengketa lahan dengan PT Sentul City ke Komnas HAM, Selasa (27/9/2021).
Baca juga: Laporkan Sentul City ke Komnas HAM, Warga Bojong Koneng: Ini Bukan Perkara Rocky Gerung Saja
Anggota kuasa hukum perwakilan warga Bojong Koneng Alghiffari Aqsa mengatakan, setidaknya ada 20 warga Bojong Koneng dari berbagai RT yang mendatangi lembaga penjamin perlindungan HAM.
"Di sini kita bersama dengan sekitar 20 warga dari berbagai RT juga beberapa lawyer yang mendampingi secara kolektif melaporkan tindakan sewenang-wenang dan minta perlindungan kepada Komnas HAM," kata Alghiffari kepada awak media di Komnas HAM.
Diketahui dalam perkara sengketa tanah ini turut terlibat seorang pengamat politik sekaligus akademisi Rocky Gerung yang rumahnya juga terancam dikosongkan.
Hanya saja kata Alghiffari perkara ini bukan hanya semata persoalan yang dialami oleh Rocky Gerung pribadi.
Akan tetapi, ada ribuan warga Bojong Koneng yang kehidupannya juga terancam terlebih adanya perampasan soal hak atas tanah atas tindakan sebuah korporasi besar.
Di mana berdasarkan catatan koalisi warga Bojong Koneng ada setidaknya 6.000 warga yang akan mengalami dampak dari penggusuran paksa yang dilakukan PT Sentul City.
"Ini bukan hanya kasus Rocky Gerung yang kita laporkan tapi juga kasus-kasus yang lain. Bahwa ada kekerasan yang terjadi yang dilakukan oleh korporasi yang melanggar HAM, bahwa ada upaya perampasan tanah ataupun land grabing dari mafia tanah ataupun korporasi besar atau pengembang besar terhadap tanah warga, baik warga yang sudah puluhan tahun yang tinggal di sana ataupun warga yang punya etikat baik dalam membeli tanah kepada para penggarap ataupun warga yang lain," bebernya.
"Ada banyak RT RW dan ratusan, kemarin kita sudah menyampaikan ada sekitar 6 ribu orang yang bisa terdampak dari penggusuran yang akan dilakukan Sentul city," lanjut Alghiffari.
Alghiffari menyampaikan, pihaknya juga telah membawa sejumlah bukti yang diserahkan ke Komnas HAM.
Beberapa bukti tersebut mencakup dokumen berupa surat kepemilikan lahan tanah dan beberapa bukti telah terjadinya kekerasan terhadap warga atas penggusuran paksa itu.
"Jadi bukti yang kita bawa ke sini ada dokumen terkait tanah, kemudian ada bukti kekerasan juga dan juga ada beberapa dokumen terkait dan surat kepada Komnas HAM," katanya.
Tak hanya itu, dalam aduan ini Komnas HAM juga diminta untuk turun langsung ke lokasi warga atau tempat terjadinya penggusuran lahan guna melakukan pemantauan.
Terlebih kata dia, para warga tersebut memiliki hak prioritas atas tanah yang sudah ditempati sejak tahun 1960 itu dan memiliki hak untuk hidup dengan baik sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang 39 tahun 1999 pasal 36.
"Meminta perlindungan dan tindakan dari Komnas HAM agar turun ke Bojong Koneng memperhatikan kasus ini, tidak dianggap sebagai kasus individu semata tapi kasus kolektif yang terkait dengan warga desa," bebernya.