Belum lagi warganya ramah dan saling toleran satu sama lain.
Mamah Edo pun tak terpikir untuk meninggalkan kediamannya saat ini dan berpindah ke lokasi lain.
"Kalau dukanya ya banjir rob ini. Tapi sukanya juga banyak. Tinggal disini itu nyaman banget. Orangnya baik, ramah. Setiap hari juga kawasan ini ramai, jadi yang tinggal itu senang. Nggak kepikiran buat pindah sih," katanya.
Senada, pria bernama Jajang menyatakan bakal terus menetap di Muara Angke, meski banjir rob melanda kediamannya yang dihuni sejak 2011 silam.
Sambil menghisap rokok filternya dalam-dalam disertai hembusan asap dari mulutnya, pria berkumis ini mengingat beberapa kali banjir rob pernah memporakporandakan huniannya.
Dia sepakat bahwa banjir kali ini yang terparah dari sebelum-belumnya.
"Dulu biasanya tiga atau empat hari surut, tapi ini paling lama. Udah hampir lima hari masih seperti ini. Tapi ya dinikmati saja, anak perempuan saya malah saya suruh berenang dua hari terakhir. Jangan dibikin susah," kata Jajang.
Pria asal Jawa Barat itu mengaku melihat lingkungan tempatnya tinggal di Kampung Kerapu sangatlah produktif dan memicu satu sama lain untuk terus bekerja.
Baca juga: Berusaha Selamatkan Sapinya saat Banjir, Pria di Lombok Barat Tewas, Tertimbun Reruntuhan Rumah
Dia juga membantah anggapan bahwa lingkungan kumuh identik dengan pengangguran.
Pagi hingga siang hari warga sekitar, kata dia, banyak yang berdagang hingga bekerja di toko-toko.
Malam hari menjadi waktu bagi para nelayan atau pedagang ikan fokus berjualan di tempat pelelangan ikan.
"Walaupun kumuh, disini itu positif banget, pasti kita terpacu untuk bekerja dan menghasilkan. Cuma ya karena banjir rob seperti ini, aktivitas itu terpaksa berhenti. Kalau saya yang penting senang dan nggak sakit aja," kata Jajang.(Tribunnetwork/Vincentius Jyestha)