Laporan wartawan tribunnews.com, Lusius Genik
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Eti (55) dan keluarganya tak pernah menyangka bakal hidup berdampingan dengan lintasan kereta api.
Sudah lima bulan lebih Eti dan suaminya, Suprianto (54), serta anak-anak dan cucu-cucunya, bertahan hidup di sebuah rumah bedeng yang berjarak kurang dari satu meter dengan rel kereta api di Kawasan Papanggo, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Rumah tinggal Eti di Kampung Kebun Bayam, Papanggo, Tanjung Priok, dibongkar PT Jakarta Propertindo (Jakpro) pada 23 Agustus 2021 silam demi pembangunan stadion bertaraf FIFA, Jakarta International Stadium (JIS).
Kemegahan stadion berkapasitas 82 ribu penonton yang kelak jadi kandang klub sepakbola Persija Jakarta itu menyisakan cerita pahit bagi Eti dan keluarganya.
Pagi, siang, sore, malam, atau bahkan subuh tak bisa tidur. Suara bising kereta melintas selalu mengganggu ketenangan yang coba didapat Eti dan keluarganya untuk sekadar beristirahat.
Bukan saja bising, kereta yang melintas tak jarang membuat tanah pijak bedeng tempat tinggal Eti dan keluarganya bergetar keras.
Mengeluh bagi Eti rasanya wajar. Tidak enak hidup berdampingan dengan lintasan kereta api. Sekadar untuk mendapatkan air bersih layak konsumsi, Eti dan keluarganya harus menimba di sumur yang jaraknya lebih dari 1 km.
Namun, meski harus berpeluh keringat untuk bertahan hidup, Eti mengaku belum akan pindah. Dia dan keluarganya bakal terus tinggal di samping rel kereta api hingga mendapatkan kompensasi atas rumah tinggalnya yang sebelumnya dibongkar.
"Walaupun susah tidur, terganggu kereta, berpeluh keringat hidup di sini, sudah kita jalani saja. Saya minta tolong, tolong kasihani kami, supaya kami itu bisa diberi jalan untuk bisa mendapatkan jalan keluar dari sini. Kita itu bukan sendirian, saya punya anak, cucu," ucap Eti saat ditemui Tribunnews.com, Senin (24/1/2022).
"Tidak muluk-muluk permintaan kami, kami hanya minta sesuai perjanjian agar ada untuk saya keluarga menyambung hidup," sambung dia.
Total ada 26 Kepala Keluarga (KK) warga Kebun Bayam yang kini membangun bedeng di sepanjang jalur rel kereta api yang sama dengan Eti dan keluarganya.
26 KK ini urung memperoleh kompensasi karena PT Jakpro menilai bahwa mereka ini, selama ini, tinggal di Kebun Bayam secara ilegal.
Permasalah yang dihadapi Eti dan keluarganya adalah belum adanya titik temu antara warga Kebun Bayam yang membangun bedeng di samping rel kereta api dengan PT Jakpro terkait kompensasi.
Padahal selama ini warga Kebun Bayam terus memohon belas kasih.
"Yang 26 KK ini tidak dapat kompensasi, diklaim sebagai ilegal tinggal di sini. 26 KK ini akhirnya bikin bedeng di sepanjang rel ini," tutur Suprianto, suami Eti.
"Perundingan tidak pernah ada titik temunya antara kami. Padahal kita sudah mengeluh, sudah memohon belas kasih sama mereka, tapi belum juga ketemu titiknya. Belum ada kesepakatan kompensasi itu," sambung Suprianto.
Belum adanya kompensasi atas penggusuran rumah tinggal ini melandasi aksi warga Kebun Bayam mendirikan bedeng di sepanjang jalur kereta api.
"Kami bertahan di samping rel ini karena belum mendapatkan kompensasi atas penggusuran. Akhirnya kita mendirikan bedeng ini sambil menunggu kompensasi itu keluar," ucap Suprianto.
Suprianto berujar siap tinggal di bedeng samping rel kereta api ini selamanya.
"Kalau bisa sambil menunggu duitnya (kompensasi), selamanya (tinggal di samping rel) gini tidak jadi masalah," pungkas Suprianto.
Caption: Penampakan rumah bedeng warga Kebun Bayam yang berjarak kurang dari satu meter dengan rel kereta api di kawasan Papanggo, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Total ada 26 KK yang membangun bedeng. Mereka tidak akan pindah sebelum mendapatkan kompensasi atas pembongkaran rumah tinggal demi pembangunan JIS/Lusius Genik.