Terdakwa Pencabulan di UNRI Divonis Bebas, Menteri PPPA: RUU TPKS Mendesak Disahkan

Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dekan Fisip UNRI nonaktif Syafri Harto berencana pulang kampung setelah dibebaskan dari tahanan usai vonis bebas dari hakim PN Pekanbaru.
Dekan Fisip UNRI nonaktif Syafri Harto berencana pulang kampung setelah dibebaskan dari tahanan usai vonis bebas dari hakim PN Pekanbaru.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru menjatuhkan vonis bebas atas terdakwa kasus pencabulan seorang dosen Universitas Riau (UNRI) terhadap mahasiswanya, LM.

Majelis Hakim dalam sidang yang digelar pada Rabu (30/3) menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah melakukan tindak pidana sesuai dakwaan primer dan subsider.

Menyikapi vonis bebas tersebut, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga mengaku memahami independensi lembaga peradilan.

Namun dirinya mengakui putusan tersebut cukup di luar dugaan dan tidak selaras dengan upaya pemberantasan dan pencegahan kekerasan seksual.

Menteri PPPA mengharapkan putusan tersebut tidak menjadi preseden pada peradilan kasus-kasus kekerasan seksual lainnya.

"Putusan tersebut saya harap tidak meruntuhkan semangat perjuangan untuk menegakkan keadilan atas kasus-kasus kekerasan seksual," tutur Bintang melalui keterangan tertulis, Jumat (1/4/2022).

"Saya percaya, pengadilan sebagai benteng terakhir bagi korban untuk mendapatkan keadilan, akan tetap memberikan jaminan perlindungan dan keadilan hukum terhadap korban," tambah Bintang.

Baca juga: Dekan FISIP Unri Nonaktif Divonis Bebas dari Kasus Pelecehan Mahasiswi, Hakim: Tak Terbukti Bersalah

Dirinya mendorong korban kekerasan seksual untuk dapat tegar dengan segala tantangan dan tidak diam.

Serta tidak takut dan tetap berani bersuara atas kasus kekerasan seksual yang dialaminya sehingga bisa mendapatkan penanganan dan pemulihan serta keadilan. 

Menurut Bintang, Semakin cepat korban bersuara akan mencegah terjadinya kasus berulang dan korban mendapatkan perlindungan.

Bintang juga meminta masyarakat tidak memberikan stigma pada korban kekerasan seksual, khususnya korban LM, yang pelakunya telah divonis bebas.

Putusan vonis bebas dapat memberikan tambahan beban psikis bagi korban LM karena putusan tersebut sekaligus tidak mengakui keberadaan korban. 

“Saya harap masyarakat turut mendukung seluruh korban kekerasan seksual pulih dari trauma yang dialaminya, khususnya korban LM,” kata Bintang.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perkara ini, menuntut terdakwa yang adalah dosen UNRI dengan dakwaan primer melanggar Pasal 289 KUHP (pencabulan), subsider: melanggar Pasal 294 Ayat (2) ke-2 KUHP, lebih subsidair: melanggar Pasal 281 ke-2 KUHP.

Majelis hakim menyatakan sejumlah pertimbangan dalam mengambil keputusan, antara lain, tidak ada bukti kekerasan dan pengancaman yang dilakukan oleh terdakwa kepada korban LM.

Pertimbangan lainnya adalah tidak ada saksi di kasus itu yang dapat membuktikan terjadi kekerasan seksual. Sebab, semua saksi di kasus itu hanya mendengar testimoni dari saksi korban LM.

Terkait hal itu, Bintang mengatakan ketiadaan keterangan saksi yang dapat menjadi alat bukti memang kendala utama untuk membuktikan kasus kekerasan seksual. 

Pasal 184 KUHAP hanya menyebutkan ada lima jenis alat bukti, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

“Artinya, dalam KUHAP, apabila tidak ada saksi lain yang melihat langsung kasus tersebut, maka keterangan saksi korban tidak mempunyai kekuatasan pembutian. Ini menjadi kesulitan untuk membuktikan kasus kekerasan seksual," jelas Bintang.

RUU TPKS yang tengah dibahas di DPR saat ini, menurut Bintang, memberikan jalan keluar untuk memberikan keadilan terhadap korban.

RUU TPKS menambahkan alat bukti lain, yaitu keterangan korban, surat keterangan psikolog dan/atau psikiater, rekam medis, rekaman pemeriksaan dalam proses penyidikan, informasi elektronik, dokumen, dan pemeriksaan rekening bank. 

Dalam Daftar Isian Masalah (DIM) pemerintah RUU TPKS, pada pasal 23, menyatakan Keterangan Saksi dan/atau Korban sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah apabila disertai dengan satu alat bukti sah lainnya dan hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.

“Tingginya angka kekerasan seksual, maka sangat penting dan mendesak agar RUU TPKS dapat segera disahkan sehingga vonis bebas seperti pada kasus pencabulan terhadap mahasiswa UNRI dapat dicegah. Rasa keadilan korban harus menjadi prioritas dan yang utama,” tegas Menteri PPPA.

Lebih lanjut, Menteri PPPA mengatakan putusan PN Pekanbaru belum incraht, JPU masih dapat mengajukan kasasi dan kasus berlanjut ke Mahkamah Agung. 

Apabila proses hukum berlanjut, diharapkan putusan majelis hakim dapat memberikan rasa keadilan kepada korban.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Klik Di Sini!

Berita Populer

Berita Terkini