TRIBUNNEWS.COM - Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel menanggapi soal kasus KDRT pasangan suami istri (Pasutri) di Depok, Jawa Barat.
Diketahui sebelumnya, kasus KDRT tersebut beujung saling lapor dan keduanya ditetapkan menjadi tersangka.
Reza Indragiri menilai bahwa seharus bynya dalam kasus tersebut harus ada pelaku dan korban bukan malah sama-sama menjadi tersangka.
"Tapi memang menjadi pertanyaan: kalau keduanya adalah tersangka, lantas siapa korbannya? KDRT bukan victimless crime. Jadi, semestinya ada pelaku dan ada korban," kata Reza.
"Sehingga, betapa pun dinyatakan terbukti melakukan perbuatan KDRT, namun alasan pembenar dan alasan pemaaf itu membuat terdakwa tidak divonis bersalah apalagi dihukum," tambahnya.
Reza pun membagikan pengalamannya dalam menangani kasus KDRT.
Baca juga: Jika Tak Bertemu Titik Damai, Polisi Akan Kebut Penanganan Kasus KDRT Pasutri Depok
Ia menjelaskan bahwa pihak yang merasa menjadi korban akan melapor ke polisi dengan keinginan berkobar-kobar agar pelaku dipenjara
"Tapi setelah melewati fase emosional, tak jarang pihak yang merasa menjadi korban bangkit rasionya. Dia mulai berpikir bahwa kalau pasangan dipenjara, maka anak akan menjadi 'yatim' atau 'piatu', kredit rumah tak terbayar, pandangan tetangga bisa miring, dan lain-lain," ujarnya.
Pihak tersebut, kata Reza, akan membawa masalah ke kepolisian, apalagi jika proses pidananya berlanjut sampai jatuh vonis, akan muncul masalah susulan multidimensional.
Pihak yang merasa menjadi korban lantas mencabut laporannya.
"Meratap ke polisi supaya kasus hukumnya disetop. Padahal sudah banyak saksi yang diperiksa, berkas berpuluh halaman siap di-print, dan seterusnya. Ujung-ujungnya, polisi membatin, "Capek deh."," terang Reza.
Dengan gambaran situasi seperti itu, dirinya mendorong polisi agar melakukan mediasi.
Lebih lanjut, sebelumnya pihak kepolisan telah memberikan peluang kepada kedua belah pihak untuk menyelesaikan kasus lewat upaya restorative justice (RJ) atau keadilan restoratif.
Restorative Justice tersebut berguna untuk menyelesaikan permasalahan serta mempersatukan kembali pasangan suami istri itu.
"Tentunya ini menjadi ruang, dan kita juga membuka ruang untuk ini apakah bisa dilakukan RJ. Karena dalam KDRT juga bagaimana mempersatukan yang tadinya satu. Ini harapan dari kita," ucap Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Trunoyudo Wisnu Andiko.
Ia pun menilai bahwa kasus tersebut terlihat tidak berimbang karena hanya sang istri berinisial PB yang ditahan setelah ditetapkan sebagai tersangka.
"Sebenarnya dua-duanya layak dilakukan penahanan. Suami dilakukan penahanan, istri layak dilakukan penahanan. Hanya suami masih ada proses pengobatan, kelihatannya tidak berimbang," ujar Karyoto.
"Kelihatannya tidak berimbang tapi alasannya benar juga, masih patut dan wajar terhadap apa yang ada di oleh penyidik dalam proses penyelidikan," imbuhnya.
Respon Ayah PB Soal Opsi Damai
Noviansyah Siregar ayah dari PB menanggapi soal opsi restorative justice atau perdamaian yang diberikan oleh pihak kepolisian.
Ia mengatakan pihaknya akan mempertimbangkan terlebih dahulu terkait opsi damai yang diberikan.
"Untuk masalah itu kita memang masih mempertimbangkan," ungkap Noviansyah dikutip dari YouTube Kompas TV, Minggu (27/5/2023).
Dirinya menyebut restorative jastice tersebut untuk menyelesaikan masalah terkait saling lapor.
Sedangkan untuk bersatu kembali pasangan suami istri tersebut, Noviansyah mengatakan tidak bisa.
"Restorative justice itu dalam arti untuk perdamaian yang kasus saling melapor."
"Kalau untuk menyatu lagi untuk saya tidak bisa," ujarnya.
Noviansyah pun menuturkan bahwa pihaknya telah memasukkan gugatan cerai anaknya di Pengadilan Agama Bekasi.
(Tribunnews.com/Ifan/Wahyu Aji/Muhammad Zulfikar)