Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahmi Ramadhan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ayah Shane Lukas, Tagor Lumbantoruan mengaku keberatan jika harus mengganti rugi biaya restitusi sebesar Rp 120 miliar yang harus dibayarkan kepada korban penganiayaan Crystalino David Ozora.
Tagor menuturkan, dengan keadaan ekonomi saat ini tidak mungkin bagi dirinya membayar biaya restitusi dengan jumlah tersebut.
Untuk restitusi yang disebut seperti yang sudah jelas, fakta dan keberadaan saya pun itu saya keberatan karena kemampuan ekonomi
Baca juga: Rafael Alun Dinilai Lepas Tangan Atas Mario Dandy usai Tolak Bantu Membayar Restitusi David Ozora
"Untuk restitusi yang disebut seperti yang sudah jelas, fakta dan keberadaan saya pun itu saya keberatan karena kemampuan ekonomi," ujar Tagor usai hadiri sidang lanjutan kasus penganiayaan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (27/7/2023).
Alhasil kini ia pun menyerahkan sepenuhnya baik proses maupun putusan perkara yang tengah membelit anaknya itu kepada majelis hakim.
Dirinya menilai bahwa majelis hakim dapat mengambil keputusan tepat terkait nasib anaknya itu kedepannya.
"Saya percaya dengan doa-doa saya juga bahwa hakim ini adalah perpanjangan tangan Tuhan. Dan hakim ini pun dengan hormat mereka selalu menilai mana hukuman yang terbaik untuk terdakwa," jelasnya.
Senada dengan Tagor, kuasa hukum Shane Lukas, Happy Sihombing menjelaskan, bahwa ia juga menyerahkan terkait keputusuan restitusi ini kepada majelis hakim.
Baca juga: Rafael Alun Tolak Penuhi Restitusi David, Ketua LPSK: Hakim Bisa Berikan Hukuman Subsider
Sebab menurutnya, kondisi kliennya itu bisa dilihat dari kondisi ekonomi Tagor yang memang tidak memungkinkan untuk membayar restitusi.
"Kita menyajikan fakta-fakta keadaan finansial ekonomi orang tua Shane. Apalagi Shane tidak sekolah kemarin karena juga keadaan ekonominya," pungkasnya.
Terkait restitusi ini pada sidang sebelumnya, Ketua Tim Penghitung Restitusi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdanev Jova hadir memberi kesaksiannya dalam sidang kasus penganiayaan oleh Mario Dandy Satriyo dan Shane Lukas di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (20/6/2023).
Dalam kesaksiannya Jova mengatakan bahwa belum ada aturan yang mengatur apabila seorang terdakwa menolak atau menyatakan tidak mampu membayar biaya restitusi kepada korban.
Adapun hal itu bermula pada saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) bertanya kepada Jova bagaimana mekanisme hukum apabila terdakwa Mario Dandy Cs tak bisa membayar restitusi.
"Katakanlah ketiga terdakwa menolak membayar restitusi atau menyatakan tiba-tiba tidak mampu untuk membayar. Mekanisme seperti apa untuk menindaklanjuti ketidakmampuan itu?" tanya Jaksa.
Jova mulanya menjelaskan, bahwa belum ada peraturan yang memaksa kepada seseorang terdakwa jika di kemudian hari tidak bisa membayar restitusi.
"Pada prakteknya yang sering dilakukan adalah membebankan pidana subsider, pada prakteknya," jawab Jova kepada Jaksa.
Jaksa pun kembali bertanya kepada Jova, apakah dalam hal ini terdapat pidana pengganti apabila nantinya Mario Dandy Cs benar-benar tidak mampu membayar resitusi tersebut.
Kemudian Jova menuturkan, bahwa berdasarkan kasus pidana penganiayaan yang saat ini menjerat Mario Dandy Cs belum diatur mengenai pengganti pidana pengganti apabila tak dapat membayar restitusi.
Baca juga: Alasan Rafael Alun Ogah Bayar Restitusi David Ozora: Kami Merasa Berat, Pahami Kondisi Kami
"Untuk tindak pidana ini apakah ada pidana pengganti restitusi?," tanya Jaksa.
"Dalam konteks peraturan ini tidak ada," saut Jova.
"artinya kalau memang mereka tidak bisa (bayar) bagaimana cara hukum menjangkaunya? Menghukum mereka seperti apa?," tanya Jaksa.
Jova pun menjawab bahwa jika berdasarkan UU tentang tindak pidana penganiayaan memang belum ada aturan yang mengatur hal tersebut.
Namun dirinya mengatakan, dalam prakteknya saat ini LPSK kata Jova telah berkirim surat kepada Mahkamah Agung guna mendiskusikan hal tersebut.
"Yang kedua beramgkat dalam praktek, ada beberapa hal yang juga pernah dipraktekan misalnya membebankan pihak-pihak lain untuk ikut membayar," ucap Jova.
"Ada kasus yang melalukan kekerasan fisik juga terhadap anak, kemudian ada juga membebankan kepada pemerintah yang lain untuk membayar restitusi," tambahnya.
Perihal biaya restitusi ini sebelumnya LPSK telah membeberkan bahwa total restitusi yang diajukan terkait kasus penganiayaan David Ozora mencapai ratusan miliar rupiah.
"Total penghitungan kewajaran LPSK Rp 120.388.911.030," ujar Jova.
Total Rp 120 miliar itu terdiri dari tiga komponen, yakni: ganti rugi atas kehilangan kekayaan, pergantian biaya perawatan medis atau psikologis, serta penderitaan.
Di antara tiga komponen tersebut, penderitaan memperoleh nilai tertinggi, yaitu Rp 118 miliar.
"Terkait penderitaan 50 miliar (yang diajukan keluarga korban), tim menilai bukti kewajaran 118 miliar 104 juta sekian," ujar Jova.
Kemudian komponen ganti rugi atas kehilangan kekayaan yang dimohonkan Rp 40 juta, tim LPSK memberikan nilai kewajaran Rp 18.162.000.
Adapun komponen pergantian biaya perawatan medis atau psikologis dari Rp 1.315.545.000, tim menilainya menjadi Rp 1.315.660.000.
Komponen penderitaan memiliki nilai terbanyak karena kondisi David yang menderita difuse axonal injury yang tidak menyebabkan cacat permanen.
Berdasarkan proyeksi penghitungan rumah sakit nilai perawatan yanh diperlukan selama setahun mencapai Rp 2,18 miliar.
Kemudian mengingat hanya 10 persen yang sembuh, tim kemudian menghitung perkiraan jangka waktu.
"Merujuk dari umur, ini data BPS Provinsi DKI Jakarta, rata-rata hidup itu 71 tahun. Kemudian 71 tahun ini dikurangi dengan umur korban 17 tahun. Artinya ada proyeksi selama 54 tahun korban ini menderita," katanya.
Dari 54 tahun itu, kemudian tim LPSK mengalikan dengan Rp 2,18 miliar yang diperoleh dari Rumah Sakit Mayapada, tempat David dirawat.
"Dan hasilnya adalah 118.104.480.000 rupiah," ujarnya.