TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel angkat bicara soal aksi perundungan berat, yang terjadi di salah satu sekolah di wilayah Tangerang dan kini tengah menjadi sorotan luas media dan masyarakat.
Menurutnya aksi tersebut, mengirim pesan bahwa kita harus lebih serius lagi bicara tentang implementasi kebijakan.
Proses menerjemahkan regulasi ke dalam aksi tak bisa ditawar, dan harus dipercepat.
Alumnus Psikologi Universitas Gadjah Mada ini menjelaskan, banyak pihak kerap kali bicara bahwa perundungan memunculkan dampak buruk.
"Tapi kita pikir ulang, buruk terhadap siapa dan berapa besar keburukannya sepertinya belum pernah kita perbincangkan secara benar-benar terukur. Apalagi jika terukur itu kita maknai sebagai kerugian finansial," kata Reza dalam keterangan yang diterima, Jumat (23/2/2024).
Dirinya menjelaskan perlu pehaman bahwa perundungan yang berlangsung di lingkungan sekolah berefek negatif bagi banyak pihak.
Bagi murid yang menjadi korban perundungan, bagi murid yang melakukan perundungan, bagi keluarga mereka, bagi sekolah, dan bagi masyarakat.
Reza mengambil contoh, dari studi di Australia, setiap tahunnya ada biaya—bahkan sesungguhnya merupakan kerugian—ratusan juta dolar yang harus ditanggung. Untuk melakukan rehabilitasi guna mengatasi gangguan kecemasan, 147 juta dollar.
Untuk mengatasi gangguan depresi, 322 juta dollar. Ada juga korban yang butuh pertolongan akibat berperilaku menyakiti diri sendiri; nilainya 57 juta dollar. Perundungan juga mendorong anak merokok, dan untuk menerapinya butuh 224 juta dollar.
Menurutnya, karena orangtua atau pengasuh juga harus memberikan perhatian lebih pada anak-anak korban perundungan, maka produktivitas kerja mereka menurun. Penurunannya mencapai 7,5 juta dollar.
Tambah lagi dengan biaya yang harus ditanggung untuk mengadakan layanan pendidikan ekstra: 6 juta dollar.
Ratusan juta dollar itu biaya per tahun lho. Dan itu setara dengan sekitar 8 persen anggaran negara di bidang kesehatan mental.
"Semestinya kita di Indonesia bisa melakukan perhitungan serupa, ya. Karena itulah, tidak cukup jika satu kementerian dan satu komisi DPR saja yang turun tangan dalam masalah perundungan ini. Perundungan harus diarusutamakan lewat kerja-kerja lintas lembaga. Jadi, bukan hanya Kemendikbud dan Komisi 10 yang harus terlibat. Kementerian Perlindungan Anak dan Komisi 8 DPR serta Kementerian Kesehatan dan Komisi 9 DPR sangat relevan dalam permasalahan ini," ujarnya.
Bukan Perundungan
Tulisan ini diawali dengan narasi tentang perundungan.
"Namun setelah membaca sejumlah media ihwal kronologi peristiwa kekerasan di Binus School, polisi patut mencermati lebih jauh apakah peristiwa dimaksud merupakan bullying ataukah ragging," katanya.
Bullying diterjemahkan sebagai perundungan.
Ragging, setahu saya, belum ada sinonimnya dalam bahasa Indonesia. Bullying dan ragging sama-sama kekerasan. Keduanya adalah perilaku tidak baik.
Tapi bayangkan jika seorang anak--siapa pun dia--sengaja mendekati geng yang dikenal urakan agar bisa bergabung ke dalamnya.
Anak itu pun tahu bahwa setiap anggota baru akan dikenai perlakuan tak senonoh dan serbaneka kekerasan.
Lantas, bergabunglah anak itu ke dalam geng tersebut dan dia menjalani ritual atau seremoni kekerasan yang memang merupakan identitas atau budaya geng itu.
Kalau kronologinya sedemikian rupa, maka keluarga anak, publik, sekolah, dan otoritas penegakan hukum jangan salah kaprah: kekerasan yang menimpa anak tersebut tidak bisa serta-merta dikategori sebagai bullying. Bukan--sebutlah--anak badung menyakiti anak baik.
Justru itu merupakan ragging alias anak badung bertemu dengan anak badung melestarikan tradisi kebadungan.
Dalam bullying, dikotomi pelaku dan korban sangat jelas.
Sedangkan dalam ragging, relasi antar anak tidak lagi hitam putih. Apalagi jika si anggota baru bertahan dalam geng tersebut, maka ia pun sesungguhnya bukan korban.
Mindset-nya adalah ia secara sengaja melalui "masa belajar" untuk kelak menjadi pelaku kekerasan pula.
Baca juga: Vincent Rompies Sebut Anaknya Masih Berstatus Saksi Terkait Kasus Bullying Geng di SMA Binus
Bahkan betapa pun si anggota baru babak belur, tetap saja ia awalnya bukan korban bullying.
Kecuali andai saat dipukuli si anggota baru itu merasa sakit, tak sanggup bertahan, ingin berhenti, apalagi jika ia minta agar tak lagi digebuki, namun anggota-anggota lama terus menghujaninya dengan pukulan, maka pada saat itulah ragging berubah menjadi bullying atau penganiayaan murni.
"Baik bullying maupun ragging, keduanya memang harus disetop. Namun dengan mengidentifikasi secara akurat apakah kejadian yang polisi tangani sesungguhnya merupakan bullying atau ragging, proses penegakan hukum akan berjalan tepat sasaran. Pun masyarakat akan bisa menakar sebesar apa simpati perlu diberikan," kata Reza.