TRIBUNNEWS.COM - Pengamat transportasi, Azas Tigor Nainggolan menyoroti masalah parkir liar di Jakarta.
Menurut Tigor, masalah parkir liar di Jakarta sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda.
Pada masa itu, parkir liar disebut 'jaga oto' yang dikelola para 'jawara lokal' yang kini disebut preman atau jukir liar.
"Banyak keluhan dan laporan tentang pengunjung minimarket atau ATM Bank atau pasar ketakutan dengan oleh ulah preman jukir liar," ungkap Tigor kepada Tribunnews, Sabtu (4/5/2024).
"Seakan kota ini dikuasai oleh para preman. Butuh tindakan tegas aparat keamanan dan lainnya untuk menghapus premanisme parkir liar," tambahnya.
Lanju Tigor, kawasan parkir resmi saja dinilai masih kerap terjadi kenakalan jukir.
Jukir kerap tidak mengarahkan pengguna parkir untuk mendaftar ke mesin parkir online.
"Petugas justru melakukan penarikan langsung tanpa tiket atau pembayaran resmi dan bahkan melebihi tagihan tarif resmi," ungkapnya.
Tigor mengaku pernah mengalami sendiri saat parkir di daerah Jalan Cikini Raya.
Saat itu ia parkir di kawasan parkir dengan parkir online.
"Ketika hendak keluar saya diminta Rp 25.000, padahal baru parkir sekitar 2 jam. Perlu tindakan tegas," ungkapnya.
Baca juga: Penjelasan Satpam Gereja di Tangsel yang Viral Jarinya Putus Karena Rebutan Lahan Parkir
Menurutnya, parkir liar terus ada dan berkembang karena penghasilan uangnya cukup besar.
Ditambah lagi pemain di sektor parkir ini melibatkan banyak pihak, mulai dari oknum ormas dan oknum aparat petugas.
Kondisi inilah yang dinilai membuat masalah parkir, terutama parkir liar terus ada di Kota Jakarta maupun kota besar lainnya.
"Melalui manajemen parkir, daerah bisa mendapatkan penghasilan dari retribusi serta pajak parkir. Selain itu parkir adalah alat mengendalikan atau manejemen transportasi, yakni mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor pribadi dan kemacetan kota," pungkasnya.
Dishub: Parkir di Minimarket Harusnya Gratis
Sementara itu Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta, Syafrin Liputo menegaskan parkir di minimarket semestinya tidak dipungut biaya alias gratis.
Pengelola minimarket juga tidak boleh menarik biaya parkir.
"Di sana (minimarket) parkir itu free (gratis), pengelola tidak diperbolehkan memungut (biaya parkir), tapi ada oknum-oknum yang coba memanfaatkan, mereka mencoba mengatur kewajiban pengemudi untuk membayar," ungkap Syafrin, Jumat (3/5/2024) dikutip dari Kompas.
Dishub Jakarta mengaku telah melakukan pengawasan terhadap kelengkapan fasilitas parkir minimarket di Jakarta.
Pihaknya juga sudah memberikan sosialisasi kepada pihak minimarket supaya tidak memungut biaya parkir walau kenyataannya parkir liar masih menjamur.
Ia mengaku tengah berkoordinasi dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) untuk mengatasi persoalan parkir liar.
Hukuman untuk Parkir Liar
Sementara itu pemerhati masalah transportasi dan hukum lainnya, Budiyanto, menilai retribusi parkir di minimarket sudah diatur dalam Undang-Undang No 28 tahun 2009 tentang pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Ia menjelaskan retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atau jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau di bawah oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan pribadi.
Lahan parkir, kata Budiyanto, wajib diadakan pemilik minimarket untuk memberikan pelayanan atau kemudahan bagi pelanggan yang berkunjung.
"Sesuai dengan Undang-Undang No 28 tahun 2009 pihak pengelola sudah membayar retribusi tentang usahanya. Termasuk lahan parkir yang disiapkan oleh tempat usaha tersebut."
"Dengan demikian bahwa lokasi parkir yang tersedia di tempat-tempat usaha tersebut seharusnya gratis atau tidak dipungut biaya," kata Budiyanto, 21 April 2024, dikutip dari Kompas.
Apabila ada petugas parkir yang tidak dilengkapi izin dan surat perintah dari Dinas Perhubungan (Dishub) kemudian melakukan pungutan, berarti ilegal atau parkir liar.
"Karena pungutan yg dilakukan tidakberdasarkan surat perintah resmi dan identitas resmi dianggap sebagai perbuatan melawan hukum pemerasan," kata Budiyanto.
Budiyanto menyebut, juru parkir liar dapat dituntut dengan Pasal 368 KUHP dan diancam dengan penjara paling lama sembilan tahun.
"Akibat dari tindakan yang menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan," ujar Budiyanto.
(Tribunnews.com/Gilang Putranto) (Kompas.com)