TRIBUNNEWS.COM - Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sudah sepakat untuk menghadirkan sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN.
Keputusan politik di MPR untuk mewujudkan GBHN sudah selesai. Namun, langkah mewujudkan sistem perencanaan nasional model GBHN itu masih terbentur pada masalah yuridis, apakah dalam bentuk Ketetapan (Tap) MPR atau Undang-Undang (UU).
Hal ini diungkapkan dalam dialog yang digelar Sekretariat Jendral MPR RI yakni, MPR Rumah Kebangsaan dalam tema Reformulasi Sistem Perencanaan Model GBHN, Rabu, 18 Oktober 2017, di Lobby Nusantara V, Kompleks MPR, DPR dan DPD, Senayan, Jakarta.
Dialog ini menghadirkan DR. Deding Ishak SH,MM sebagai Pimpinan Fraksi Partai Golkar MPR RI dan DR Margarito Kamis, anggota Lembaga Pengkajian MPR RI.
Kajian terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia mengemuka, karena semakin tumbuhnya kesadaran masyarakat luas terhadap arah perjalanan bangsa Indonesia ke depan.
Kehadiran kembali GBHN saat ini dipandang sangat penting dan mendesak oleh sebagian besar masyarakat, agar arah pembangunan nasional dapat terus berjalan secara berkesinambungan tanpa periodeisasi kepemimpinan nasional, adanya sinkronisasi pembangunan antara pusat dan daerah serta antar daerah, adanya perwujudan kedaulatan rakyat, adanya ukuran capaian pembangunan nasional dan upaya-upaya percepatannya.
Menurut Deding, kenapa perlu melakukan reformulasi Sistem Perencanaan Model GBHN, ini karena presiden memiliki misi untuk kelanjutan pembangunan.
Hingga pada kesimpulan untuk mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI 45 diperlukan sebuah pedoman.
Ternyata pada pelaksanaan antara kebijakan pusat dan daerah tidak selaras. “ Kita jelas kehilangan kompas dan pedoman, padahal kita membangun secara keseluruhan, yang harus didukung oleh kebijakan selaras antara pusat dan daerah,”kata Deding.
Menurut Margarito, yang menjadi persoalan saat ini karena UUD NRI 1945 tidak lagi memberikan kewenangan kepada MPR untuk menetapkan GBHN. “Kesulitan untuk memberikan justifikasi konstitusional untuk membuat mirip dengan GBHN. Masalah utamanya di sini,” kata Margarito.
Ia mengatakan, dalam kenyataannya ada perbedaan luar biasa antara pusat dan daerah bahkan antara sesama daerah. Kehidupan kita serahkan kepada seseorang di level nasional oleh Presiden dan di daerah oleh kepala daerah bagaimana mereka mendefinisikannya. “Seharus definisi dibuat bersama, masalahnya ada kesulitan melinierkan kebijakan antara pusat dan daerah. Karena Presiden dari partai PDI Perjuangan, sementara kepala daerah dari partai lain. Kalau ada satu pedoman maka akan selaras,” kata Margarito.
Deding dan Margarito sepakat agar dilakukan revisi Undang-Undang yang merupakan prosedur paling sederhana untuk kondisi saat ini. Dan mereka sama-sama menyatakan bahwa kesepakatan itu ada di tangan ketua partai-partai politik.
“Masyarakat masih menunggu pedoman yang akan diterapkan dalam sistem ketatanegaraan kita,” kata Margarito.
Inilah kenyataan yang harus dihadapi sebagai jalan paling kecil untuk melembagakan mimpi Indonesia. “Ini membutuhkan komitmen para pemimpin untuk tunduk dan taat pada pedoman ini, bila tidak semua akan berjalan sendiri-sendiri.”