Sosialisasi yang diikuti ratusan peserta di Kantor Kelurahan Teluk Bayur, Kecamatan Telur Bayur, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, Sabtu (27/10/2018), berlangsung sangat meriah.
Selepas pemaparan yang disampaikan oleh Wakil Ketua MPR Mahyudin, puluhan peserta mengajukan diri untuk menyampaikan pertanyaan dan saran. Dari peserta yang terpilih untuk mengajukan pertanyaan dan saran, mereka mewakili pelajar, LSM, guru, dan tokoh masyarakat.
Pertanyaan dan saran yang mereka ajukan mayoritas menginginkan sosialisasi dilakukan kepada seluruh element masyarakat terutama pejabat. Dikatakan pejabat perlu mendapat sosialisasi sebab menurut mereka saat ini banyak pejabat yang melakukan korupsi dan ditangkap KPK.
Mahyudin senang peserta antusias dalam kegiatan itu. Menjawab pertanyaan dan saran dari mereka, pria asal Kalimantan Timur itu mengatakan, Sosialisasi Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, diberikan kepada seluruh element masyarakat dari tingkat PAUD hingga perguruan tinggi bahkan kepada berbagai kalangan dari guru, tokoh agama, tokoh masyarakat, mahasiswa, aktivisi perempuan, TNI, Polri, dan profesi lainnya.
Sosialisasi itu disampaikan dengan beragam metode, mulai dari diskusi, seminar, lomba cerdas cermat, outbond, TOT, FGD, pagelaran seni-budaya, bahkan melibatkan ustad Abdul Somad. "Saya sudah melakukan sosialisasi ke berbagai wilayah di Indonesia", ungkapnya.
Diakui pemasyarakatan Empat Pilar tak cukup bila hanya dilakukan oleh MPR. Untuk itu dirinya mendorong pemerintah ikut melakukan hal yang sama.
Diakui, sebenarnya masyarakat sudah pancasilais namun hal demikian perlu ditingkatkan dan diimplementasikan dalam keseharian apalagi menghadapi berbagai tantangan kebangsaan, seperti hoax dan dampak buruk globalisasi.
Terkait banyaknya pejabat, kepala daerah dan wakil rakyat yang melakukan korupsi, Mahyudin mengaku prihatin. "Paling penting saya tidak melakukan itu", tuturnya.
Banyaknya pejabat yang korupsi, diungkapkan itu akibat dari keterbukaan demokrasi. Sekarang pemilihan kepala daerah bahkan Presiden dilakukan langsung oleh rakyat. Pemilihan langsung merupakan perubahan dari sistem Pemilu masa lalu di mana kepala daerah sebelumnya dipilih oleh DPRD dan Presiden oleh MPR. "Dalam era reformasi masyarakat tak percaya pada wakil rakyat", paparnya.
Rupanya tak disadari bahwa Pemilu langsung ini berbiaya tinggi. Dicontohkan, bila seseorang hendak maju menjadi gubernur maka ia harus membiaya saksi. Bila ada 10.000 TPS dan setiap saksi diberi honor Rp 200.000 maka calon gubernur tadi harus mengeluarkan biaya Rp 2 miliar. "Itu belum termasuk baliho, spanduk, dan alat kampanye lainnya", ujarnya.
Nah, bila gubernur hanya mendapat gaji Rp 3 juta tentu modal yang dikeluarkan tidak akan kembali. "Sehingga gubernur itu hanya berpikir bagaimana modalnya kembali", ungkapnya. "Dari sinilah mereka melakukan korupsi", tambahnya.
Hal demikian juga terjadi saat Pemilu Legislatif. Sistem proporsional terbuka juga membuat kompetisi yang terjadi tak sehat. Partai politik tak bisa menyeleksi calonnya karena semua diserahkan kepada masyarakat.
"Sayangnya rakyat memilih calon yang popular atau yang punya modal banyak", ucapnya. "Dari sini melahirkan politisi karbitan", tambahnya.
Dituturkan bila memilih orang yang membayar maka kita mencoblos orang yang tak berintegritas. "Mereka melakukan suap maka nanti mereka juga akan menerima suap", tuturnya.
Untuk itu Mahyudin menyerap aspirasi masyarakat bagaimana menciptakan sistem Pemilu yang ideal. (*)