Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), Ahmad Basarah, mengaku miris dengan kondisi dan situasi kehidupan berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini dimana banyak generasi muda bangsa yang sudah jatuh menjadi pengikut dua ideologi transnasional seperti ekstrimisme agama dan liberalisme/individualisme.
"Generasi muda kini menjadi segmentasi yang diperebutkan oleh dua ideologi tersebut. Pelajar dan mahasiswa adalah kelompok strategis namun sangat rentan terhadap pengaruh dari luar termasuk penetrasi paham ekstrimisme agama dan liberalisme/individualisme," kata Basarah saat menerima audiensi Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Siswa Nasional Indonesia (DPP GSNI) di ruang kerja kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (7/1/2019).
Ketua Panitia Ad-Hoc (PAH) 1 Haluan Negara MPR RI memaparkan lebih lanjut bahwa ancaman ideologi transnasional yang mengincar generasi muda bukanlah wacana, melainkan sudah benar-benar ada dan nyata. Sebagai contoh pelaku aksi-aksi terorisme saat ini bukan lagi menjadi monopoli orang dewasa saja, bahlan pelajar dan anak-anak tercatat menjadi pelakunya. Bom bunuh diri satu keluarga di Surabaya adalah contoh konkrit menggambarkan hal itu. Diawali dengan sikap intoleran, pintu gerbang menjadi pelaku terorisme semakin terbuka lebar.
"Menguatnya paham ekstrimisme agama ini jelas merupakan ancaman terhadap takdir Tuhan untuk bangsa Indonesia yaitu berupa kemajemukan. Juga ancaman terhadap ideologi Pancasila yang Berbhinneka Tunggal Ika," ujar pria yang biasa disapa Baskara.
Di sisi lain, fenomena yang juga harus menjadi perhatian serius adalah perihal ancaman ideologi liberalisme. Bentuk nyatanya adalah perilaku seks bebas di kalangan remaja dan konsumsi narkoba di kalangan remaja. Sebagai contoh BNN pada 2018 lalu pernah merilis 24 persen pengguna narkoba berasal dari kalangan pelajar. Belum lagi perilaku sex bebas hingga perilaku menyimpang seperti LGBT yang salah satu contohnya belum lama ini terjadi di Garut lewat group facebook gay SMP/SMU di Garut, Jawa Barat yang beranggotakan ribuan orang. Kelompok ini kalau kebebasan dilepas pada gilirannya akan mengkampanyekan perkawinan sejenis dilegalkan di Indonesia.
"Perlahan namun pasti generasi muda digerogoti oleh dua ideologi transnasionalisme yang dalam praktiknya membonceng kemajuan teknologi. Hal ini bisa terjadi karena kedangkalan pemahaman terhadap ideologi Pancasila," jelasnya lagi.
Terhadap menguatnya fenomena tersebut, Basarah mengajak kepada segenap kader GSNI untuk bekerja keras dan ikhlas, berjibaku menghadapi derasnya propaganda ideologi transnasional tersebut. Upaya membina dan menanamkan nasionalisme dan patriotisme harus ditanamkan sejak dini. Hal ini sebagai usaha dalam menciptakan pelajar cerdas, kreatif, cinta tanah air dan taat kepada Tuhan Yang Maha Esa.
"Karena itulah saya mengajak GSNI sebagai generasi muda bangsa sekaligus warga negara Indonesia untuk sadar dan punya rasa tanggung jawab dalam mencegah serta menyadarkan upaya pihak-pihak yang hendak mengganggu ideologi Pancasila, khususnya di kalangan siswa-siswa sekolah dan masyarakat luas pada umumnya. "Upaya membina dan menanamkan nasionalisme dan patriotisme harus dikenalkan sedini mungkin," urai Baskara.
Hadir dalam audiensi tersebut Abdul Gani, Ketua dan Ika Indra Sanjaya selaku Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Sekjen DPP GSNI beserta pengurus lainnya. Saat ini DPP GSNI membawahi 38 Dewan Pimpinan Cabang (DPC) yang tersebar di 15 provinsi di Indonesia, dengan jumlah kader sekitar 5.000 siswa. (*)