Sekretaris Jenderal (Sesjen) MPR RI, Dr. Ma’ruf Cahyono, SH., MH., mengingatkan, perkembangan Teknologi Informasi (TI) merupakan modalitas dan potensi bangsa jika dimanfaatkan sebagai alat komunikasi sesama anak bangsa, dan alat untuk merekatkan silaturahim. Ma’ruf berharap, penggunaan Teknologi Informasi, seperti facebook, WhatsApp dan lainnya haruslah mampu meningkatkan produktifitas sumberdaya manusia Indonesia, sehingga pengaruh negatif perkembangan Teknologi Informasi bisa diminimalisir.
Ma’ruf Cahyono menyampai hal itu di depan sekitar 400 peserta sosialisasi Empat Pilar MPR di Pendopo Rumah Dinas Bupati Kabupaten Toba Somosir (Tobasa) di Balige, Sumatera Utara, Selasa (19/2). Para peserta sosialisasi ini terdiri dari unsur perangkat daerah seperti forkompimda, camat, kepala sekolah, guru, tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda, unsur ormas orsospol, LSM, dan lainnya memenuhi bangunan bangunan pendopo yang tanpa ditutupi oleh dinding.
Juga hadir dan berperan sebagai narasumber anggota MPR dari Kelompok DPD RI Parlindungan Purba, dan Edison Manurung selaku staf khusus Ketua DPD RI. Juga hadir dan memberi sambutan Bupati Tobasa Ir. Darwin Siagian beserta unsur Forkompimda Kabupaten Tobasa, dan tamu undangan lainnya.
Lebih lanjut Ma’ruf menjelaskan, Teknologi Informasi harus digunakan untuk hal-hal yang produktif. Teknologi Informasi layaknya digunakan untuk membangun cita persatuan bangsa dan kesatuan negara dalam wadah NKRI. Untuk itu kita harus bersama-sama membangun bangsa sekaligus membangun negara.
Selanjutnya diungkapkan bahwa untuk membangun bangsa dan negara diperlukan aktualisasi nilai nilai luhur dan jatidiri bangsa yang disebut Pancasila. Persatuan Indonesia sebagai komitmen kebangsaan adalah salah satu dari karakter bangsa Indonesia yang dijiwai oleh karakterisitik bangsa lainnya yakni sebagai bangsa yang religius, humanis, demokratis dan adil.
Ma'ruf mencontohkan nilai-nilai luhur bangsa yang sering diabaikan adalah nilai demokratis. Penyelesaian masalah dan mencari solusi dengan musyawarah mufakat bulat jarang dilakukan, pada akhirnya yang terjadi adalah prinsip mayoritas yang menekan golongan minoritas. Dengan demikian cita kemanusian dan keadilan tidak mudah diwujudkan. Keputusan dan kebijakan yang diambil yang tidak mengakomodir berbagai kepentingan masyarakat itulah yang menimbulkan berbagai ketidak puasan dan konflik.
Ini yang tidak baik tentunya untuk memupuk dan memantapkan persatuan bangsa dan kesatuan negara. Saya pikir nilai nilai demokrasi khas Indonesia inilah yang harus terus dihidupkan sehingga persatuan Indonesia semakin kokoh sebagai syarat mewujudkan cita cita negara sebagaimana termaktub dalam pembukaan Undang Undang Dasar, ujar pemegang anugerah Birokrat Teladan ini saat hadir sebagai narasumber sekaligus mewakili DR. Oesman Sapta, Wakil Ketua MPR RI.
"Kalau musyawarah mencapai mufakat dilakukan atas dasar nilai-nilai transendental hikmat kebijaksanaan, maka apapun keputusan yang diambil akan bisa diterima oleh semua pihak dan semua bertanggung jawab melaksanakannya,“ ujar Ma’ruf Cahyono.
Itu adalah gambaran tentang jati diri ke-Indonesia kita. Untuk memberi gambaran secara utuh tentang ke-Indonesiaan kita, putera kelahiran Banyumas, Jawa Tengah, ini mengawali pidato kuncinya dengan membacakan puisi berjudul 'Masih Indonesiakah kita....?' Puisi ini menggambarkan betapa semua kita khawatir kehilangan ke-Indonesiaan kita yang merupakan jati diri bangsa.
Kita semua, menurut Ma’ruf, takut Indonesia kehilangan sebagai bangsa yang religius, bangsa yang humanis, bersatu, demokratis dan yang berkeadilan. Kata Ma’ruf, Itulah visi kehidupan berbangsa kita yang sangat bagus sebagai karya para pendiri bangsa.
Cita-cita para pendiri bangsa adalah negara Indonesia menjadi bangsa yang religius, bangsa yang humanis, bersatu, demokratis, adil sejahtera, mandiri, maju dan bersih. “Itu adalah cita-cita sangat mulia,” katanya.
Untuk menciptakan satu kondisi bangsa yang sesuai dengan visi para pendiri bangsa, manurut Ma’ruf, tentu tidak mudah, tapi bukan sesuatu yang berat. Untuk itu, katanya, bisa dimulai dari manapun, termasuk dari diri kita sendiri. Dari entitas yang paling kecil misalnya , misalnya mulai dari RT, RW, kabupaten-kota, sampai tingkat negara. Cita negara akan terwujud jika nilai fundamental negara itu diaktualisasikan dalam kehidupan sehari hari.
Nah, jika negara sudah mampu merawat itu secara berkelanjutan, tentu cinta negara, cinta bangsa, nation building, state building tidak akan pernah ada halangan. “Semua persoalan, termasuk tantangan eksternal dan internal, bisa diatasi dengan implementasi nilai nilai luhur bangsa itu. Dengan persatuan negara akan tetap berdaulat, dan dengan kedaulatan itulah kita mampu mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia," ujarnya.
Sementara itu, Bupati Tobasa Ir. Darwin Siagiaan dalam sambutannya, menyambut baik kegiatan Sosialisasi yang diselenggarakan oleh MPR di Tobasa. Menurut Darwin, ini untuk kedua kali sosialisasi Empat Pilar MPR diselenggarakan di Tobasa setelah kegiatan yang sama diselenggarakan pada 2016 yang dihadiri oleh Wakil Ketua MPR Oesman Sapta.
Sebenarnya, jelas Darwin, untuk Kabupaten Tobasa, khususnya daerah sekitar danau Toba, masalah Empat Pilar tidak ada persoalan. Karena Empat Pilar ini ada hubungannya dengan adat. “Maka, di sini segala masalah dapat diselesaikan dengan musyawarah di atas makanan,” kata bupati berusia 67 tahun ini.
Darwin juga menggambarkan bagaimana di daerah penghasil pertanian ini merawat keberagam. “Di sini kalau ada kegiatan gereja yang melayani umat muslim, begitu kalau umat muslim punya hajatan yang melayani umat kristiani,” ujar Darwin yang telah tiga tahun menjabat Bupati Tobasa.
Jadi, menurut Darwin, untuk Tobasa masalah Empat Pilar sudah final, tidak perlu diperdebatkan lagi. Hanya saja, lanjut Darwin, memang perlu ada penyegaran dan inilah pentingnya sosialisasi Empat Pilar ini. Selanjutnya, dia meminta Dinas Pendidikan Tobasa untuk mengumpulkan materi sosialisasi untuk kemudian disebarluaskan kepada guru-guru yang lain. (*)