TRIBUNNEWS.COM - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo bersama Duta Besar Afrika Selatan untuk Indonesia H.E. Mr. Hilton Fisher membahas perkembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Koeberg yang dimiliki Afrika Selatan.
Memiliki dua reaktor nuklir, sejak beroperasi pada tahun 1984 hingga kini, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Koeberg tidak pernah mengalami kendala berat yang menyebabkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat Afrika Selatan. Justru sebaliknya, kedua reaktor nuklir tersebut memiliki kapasitas terpasang 1.940 MW dan menghasilkan sekitar 5 persen listrik Afrika Selatan.
"Afrika Selatan menjadi satu-satunya negara di benua Afrika yang memiliki PLTN. Tidak puas hanya dengan dua reaktor nuklir, Afrika Selatan juga berencana membangun delapan reaktor nuklir tambahan, guna mengakhiri ketergantungan pada batubara sebagai penghasil listrik. Indonesia tidak perlu ragu untuk belajar mengembangkan PLTN dari Afrika Selatan," ujar Bamsoet usai menerima Duta Besar Afrika Selatan untuk Indonesia H.E. Mr. Hilton Fisher, di Ruang Kerja Ketua MPR RI, Jakarta, Kamis (18/11/21).
Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Koeberg terletak sekitar 30 km di sebelah utara Cape Town di dekat Melkbosstrand di pesisir barat Afrika Selatan. Dimiliki oleh pembangkit listrik nasional Afrika Selatan, Eskom. Keberadaannya menjadikan Afrika Selatan sebagai 15 negara produsen listrik bertenaga nuklir terbesar di dunia. Bersama dengan Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, Korea Selatan, Kanada, Ukraina, Jerman, Jepang, Spanyol. Inggris. India, Taiwan, Brazil, dan Meksiko.
"Secara global pada tahun 2019, total produksi PLTN di berbagai negara dunia sudah mencapai 2.796 terawatt (triliun watt) per jam. Amerika Serikat di peringkat pertama dengan PLTN terbesar dunia mampu mengolah hingga 852 triliun watt per jam atau 30,5 persen dari total produksi PLTN global. Sementara Afrika Selatan di posisi ke-14 dengan mengolah hingga 14,2 triliun watt per jam," jelas Bamsoet.
Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Keamanan dan Pertahanan KADIN Indonesia ini menerangkan, di masa depan ketergantungan berbagai negara dunia terhadap PLTU akan berkurang drastis. Terlebih setelah pertemuan Conference of Parties (COP) ke-26 di Glasgow, Skotlandia beberapa hari lalu, berbagai negara dunia sepakat menurunkan emisi karbon agar bisa menekan kenaikan suhu bumi dibawah 1,5 derajat Celcius.
"Dalam COP-26, pembicaraan penggunaan energi nuklir juga sudah mulai menghangat untuk menurunkan emisi karbon. Dunia sepertinya sudah mulai pulih dari trauma kecelakaan nuklir Chernobyl di Ukraina maupun Fukushima di Jepang. Bahkan, Ukraina saja tetap menggunakan energi nuklir untuk memenuhi 53 persen sumber energinya," terang Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menuturkan, sebagai pelaksanaan COP-26, Indonesia menargetkan emisi nol bersih atau net zero emission (NZE) pada tahun 2060. Untuk mencapai target tersebut, secara bertahap akan menghentikan operasi PLTU serta memaksimalkan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT), termasuk didalamnya memanfaatkan energi nuklir.
"Sebenarnya sejak tahun 1970-an Indonesia sudah mulai merencanakan pembangunan PLTN. Berbagai upaya dan proses panjang telah dilalui, namun tidak kunjung membuahkan hasil signifikan. Kini setelah COP-26, dari berbagai kajian yang dilakukan pemerintah, lahir opsi penggunaan nuklir direncanakan dimulai pada tahun 2045. Hingga pada tahun 2060 nanti, diharapkan kapasitasnya bisa mencapai 35 Giga Watt (GW). Agar bisa terealisasi dengan baik, tidak ada salahnya kita belajar dari Afrika Selatan" tandas Bamsoet. (*)